Aku memandangi sosok-sosok yang lama sudah kukenal. Canda tawanya, sedu sedannya, tangis sedihnya, luka bahagianya, dan segala sesuatu yang begitu lekat dengan perjalanan selama ini. Bukan suatu perjalanan yang singkat, bukan pula perjalanan yang mudah. Entah berapa detik yang kita lewati bersama, menyatukan segala beda di bawah satu atap yang sama.
Rasanya baru kemarin saja, kita mencari nama-nama kita di depan pintu kelas. Menerka-nerka kelas mana yang akan menjadi tempat kita. Menanti dengan cemas, siapa yang akan menjadi teman-teman kita. Mungkin sekarang, kita masih dengan kecemasan yang sama seperti saat itu. Berada di ambang pintu perpindahan jenjang. Cemas tentang seperti apa dunia baru itu nantinya. Dengan orang-orang baru di dalamnya, orang-orang yang tentu banyak tak sepaham dengan koridor kita. Sedikit berdebar, menanti bagaimana rasanya berpisah dengan satu sama lain yang sudah lebih dari seorang teman. Mungkin lebih tepat disebut saudara.
Ini hari Minggu dan aku berada di tempat kesayangan ini. Tempat di mana seluruh kenangan mengguratkan kisah-kisahnya di dinding yang bisu. Kelas-kelas yang menyaksikan kegaduhan serta kekhusukan kami ketika panggilanNYA diserukan. Masih terekam juga dengan baik, bagaimana koridor-koridor ini telah menyatukan langkah-langkah kita. Semuanya masih manis di ingatan. Memori masih segar pula untuk diputar kembali di dalam kepalaku ini.
Sekolah tercinta ini tidak seperti biasanya. Malam ini saja, banyak hiasan-hiasan yang dipasang, kursi-kursi dan beberapa meja yang disusun menghadap panggung sederhana. Tempat ini menjadi yang terpilih di antara sekian pilihan. Mungkin karena memang di siniliah kita ingin menghabiskan waktu-waktu terakhir kita. Tempat di mana semua orang terkasih menapakkan kakinya setiap hari, setiap pagi. Kita memulai segalanya dari tempat ini, maka ketika akan lepas, di sinilah kita semua ingin menghabiskan waktu. Mungkin sekali ini saja, sebelum semua tenggelam dengan dunianya masing-masing. Ya, ini waktunya kita bermain-main dengan kenangan dan harapan.
“Hei, kamu mikir apa’an sih?”, tanya Vita membuyarkan lamunanku.
“Ah, nggak kok, cuma seneng aja ngeliat kita pada tampil beda malem ini. Cantik-cantik, ganteng-ganteng”, jawabku sekenanya. Akan repot kalau harus menceritakan bait-bait pikiran yang sejak tadi berkelebatan di otakku.
Hari ini semua memakai pakaian terbaiknya, berdandan sebaik-baiknya. Ada beberapa yang memakai gaun, beberapa lagi menggunakan setelan jas bak akan hadir ke pesta dansa, dan banyak lagi macam kostum hari ini. Aku sendiri lebih memilih memakai terusan merah berdetail lucu. Ini sudah yang terbaik, aku sudah berusaha menyingkirkan celana jeans dan kaosku. Jadi, kata kalian, memang aku cantik hari ini. Hahaha.
Beberapa murid pun mulai menampilkan persembahan-persembahan mereka. Segera malam yang awalnya hiruk pikuk dengan obrolan itu mulai diselingi dengan melodi-melodi gitar, alunan keyboard, dentuman drum, dan merdunya penyanyi-penyanyi profesional maupun dadakan. Sesekali riuh tepuk tangan membahana sebagai pertanda bahwa betapa kita menikmati acara dan suasana malam ini. Semuanya sederhana, tapi kesederhanaan itulah yang membuat malam ini semakin berkesan.
Tiba sudah di penghujung acara. Kulihat tidak seorang pun meninggalkan tempat duduknya sejak awal tadi. Kursi-kursi masih terisi penuh, bahkan sebagian lebih memilih untuk duduk di bawah, beralaskan plester lapangan tempat anak-anak lelaki bermain bola. Aku merasa sedikit berbeda, mungkin berdebar. Beberapa menit lagi aku akan maju ke panggung kecil itu. Aku didaulat untuk membacakan puisi karyaku untuk acara puncak. Akupun mulai berjalan ke belakang panggung sambil sesekali memainkan kertas naskah di tanganku. Sumpah aku gugup. Tapi, di belakang panggung sudah ada kamu. Iya, kamu. Lelaki yang mengambil hatiku sejak beberapa bulan yang lalu. Masih dengan sederhanamu, kamu tersenyum dan menghampiriku. Akupun tersenyum, sedikit tenang.
“Ayo, semangat..”, katamu pelan.
“Aku deg-degan, tau !”, tukasku cepat. Dan mungkin tanpa sadar aku memanyunkan bibirku beberapa senti, lalu seperti biasa dia selalu tertawa jika melihatku seperti itu. Tawanya membuat debarku berkurang. Berkurang untuk membaca puisi nanti, tapi bertambah di satu sisi yang lain. Debark berpindah untukmu, dan fakta bahwa kita tidak akan berada di tempat yang sama lagi setelah ini.
Ah, namaku dipanggil sudah. Senyummu mengantarkan aku menaiki tangga kecil menuju panggung.
“Lho, kok sendirian ? Sam di mana ?”. Ah, sial. Bagaimana bisa pertanyaan seperti itu dilontarkan di sini. Ternyata memang benar, cerita cinta tentang aku dan kamu itu sudah diketahui seisi sekolah. Aku cuma tersenyum menanggapinya. Tapi entah bagaimana adanya dengan wajahku yang tak tahan malu. Memerah kurasa.
*****
Aku menatap langit-langit kamarku. Sekarang jam dua malam, dan aku baru saja merebahkan punggungku di atas tempat tidur. Cerita hari ini adalah salah satu yang terindah, selama tiga tahun aku hidup bersama di sekolah menengah atas yang kucintai ini. Segalanya masih berputar-putar di kepala. Rasanya terlalu singkat. Rasanya aku ingin punya waktu yang lebih lama lagi untuk terus membuat cerita-cerita baru bersama kalian. Tapi tak apa, bukankah kalian tak pergi ke mana-mana? Bukankah jarak dan waktu terlalu remeh untuk menjadi penghalang ikrar persaudaraan kita? Aku tersenyum simpul, karena kuyakin jawabannya “iya”.
Lalu biarkanlah semua berjalan seperti semestinya. Yang perlu kita yakini adalah, hari ini masih merupakan awal, di mana kita akan meletakkan pijakan-pijakan baru untuk masa depan kita. Masih ingat mimpi-mimpi yang pernah kita tuliskan bersama? Inilah yang harus dilewati untuk bias mencapainya. Berjanjilah bahwa persaudaraan ini telah tertanam kuat. Dan aku minta, supaya fragmen-fragmen indah kita, bisa kalian simpan di sudut hati yang paling dalam.