Aku memandangi jendela, di luar hujan deras sekali. Kilat menyambar di sana-sini. Biasanya, di saat seperti ini, kamu akan meneleponku, menemaniku. Sekedar mengatakan bahwa petir itu tidak akan sampai padaku, sekalipun aku sedang berada di padang yang luas, selama ada kamu di dekatku. Lalu kita sama-sama tertawa, menertawakan kekonyolan kalimatnya. Anak bayi pun bisa tahu kalau hal itu tidak mungkin terjadi, yang ada malah kita bisa gosong bersama-sama.
Tapi kali ini lain, aku hanya bisa mengenang saat-saat itu, dan tersenyum kecil.
Jdar!!
Aku bergidik, kaca jendela kamarku bergetar. Petir barusan besar sekali. Aku segera saja menutup tirai jendelaku. Setelah sebelumnya menghapus jejak-jejak namamu yang aku ukir melalui embunnya hujan. Saat ini, mungkin aku sedang berusaha melewati masa-masa beratku. Kehilangan kamu bukanlah sesuatu yang aku inginkan. Tapi kamu sendiri yang menginginkannya, bukan? Dan aku sebagai wanita yang jelas-jelas mencintaimu selama lima tahun terakhir ini, tentu saja akan memberikan apapun untuk membuatmu bahagia. Termasuk merelakanmu pergi.
Aku tidak akan membohongi hatiku sendiri bahwa kamu pernah memintaku kembali. Kamu telah mengakui semua kesalahanmu. Kamu mengakui bahwa kamu sempat bersenang-senang dengan cinta lain di luar sana, selama kita berjauhan. Aku telah memaafkanmu. Sungguh aku memaafkanmu. Namun, aku ragu ketika kamu katakana untuk berusaha menumbuhkan cinta lagi untukku. Apa bisa? Sementara menjaga yang sudah tumbuh dan memekar saja nyatanya kamu gagal.
Jadi aku memutuskan untuk membiarkanmu mencari cinta yang baru saja. Aku memintamu untuk menumbuhkan cinta yang lain, bukan cinta milikku dulu. Yang sudah mati, biarlah saja mati. Aku yakin masih banyak reranum di luar sana yang ingin menancapkan akarnya pada relung-relung jiwamu. Aku hanya berpesan padamu untuk menjaganya kelak. Menjaga seseorang yang akan menjadi penggantiku. Jagalah apa yang sudah tumbuh dan merekah. Mencari bunga lain bukan meperindahnya, tapi hanya akan membuatnya semakin mati. Karena hara cintamu sudah terbagi. Tak utuh.
Mungkinkah kembali, segala rasa yang t’lah hilang
Walau hati kecilmu masih mencintaiku
Tak ingin kubertahan..
Tapi kali ini lain, aku hanya bisa mengenang saat-saat itu, dan tersenyum kecil.
Jdar!!
Aku bergidik, kaca jendela kamarku bergetar. Petir barusan besar sekali. Aku segera saja menutup tirai jendelaku. Setelah sebelumnya menghapus jejak-jejak namamu yang aku ukir melalui embunnya hujan. Saat ini, mungkin aku sedang berusaha melewati masa-masa beratku. Kehilangan kamu bukanlah sesuatu yang aku inginkan. Tapi kamu sendiri yang menginginkannya, bukan? Dan aku sebagai wanita yang jelas-jelas mencintaimu selama lima tahun terakhir ini, tentu saja akan memberikan apapun untuk membuatmu bahagia. Termasuk merelakanmu pergi.
Aku tidak akan membohongi hatiku sendiri bahwa kamu pernah memintaku kembali. Kamu telah mengakui semua kesalahanmu. Kamu mengakui bahwa kamu sempat bersenang-senang dengan cinta lain di luar sana, selama kita berjauhan. Aku telah memaafkanmu. Sungguh aku memaafkanmu. Namun, aku ragu ketika kamu katakana untuk berusaha menumbuhkan cinta lagi untukku. Apa bisa? Sementara menjaga yang sudah tumbuh dan memekar saja nyatanya kamu gagal.
Jadi aku memutuskan untuk membiarkanmu mencari cinta yang baru saja. Aku memintamu untuk menumbuhkan cinta yang lain, bukan cinta milikku dulu. Yang sudah mati, biarlah saja mati. Aku yakin masih banyak reranum di luar sana yang ingin menancapkan akarnya pada relung-relung jiwamu. Aku hanya berpesan padamu untuk menjaganya kelak. Menjaga seseorang yang akan menjadi penggantiku. Jagalah apa yang sudah tumbuh dan merekah. Mencari bunga lain bukan meperindahnya, tapi hanya akan membuatnya semakin mati. Karena hara cintamu sudah terbagi. Tak utuh.
Mungkinkah kembali, segala rasa yang t’lah hilang
Walau hati kecilmu masih mencintaiku
Tak ingin kubertahan..
0 komentar:
Posting Komentar