Alana membuka pintu dan melihatku terbaring. Tebakanku benar, ekspresi wajahnya tidak pernah berubah. Mata yang sayu miliknya mengguratkan sendu yang semakin mendalam karena alis matanya membentuk garis yang menurun. Ekspresi khasnya jika melihat sesuatu yang membuatnya merasa iba dan khawatir. Ia membuka jaket warna merah mudanya. Jaket yang kuhadiahkan untuknya satu tahun yang lalu. Ia lalu mendekati tempat tidurku.
“Gimana
rasanya? Sudah enakan?”, tanyanya sambil mengelus rambutku.
“Lumayan.
Kok tumben kamu jam segini udah pulang?”
“Hari
ini aku nggak ngajar, sayang..”, Alana kemudian membuka plastik putih berisi
sekeranjang penuh buah-buahan. “Kamu mau yang mana?”, lanjutnya.
“Yang
mana aja, asal kamu yang nyuapin..”, jawabku sambil nyengir. Alana hanya
tertawa kecil, memamerkan lengkungan bibirnya yang semakin indah dengan lesung
pipi di kedua sisinya. Seketika ingatanku seperti melayang ke tahunan yang
lalu, ketika pertama kali aku melihat Alana tertawa, dan aku jadi langsung
jatuh hati padanya.
“Eh,
kenapa kamu nggak ngajar hari ini?”
“Hari
ini kan mulai UAS, sayang, jadi nggak ngajar. Syukurlah, akhirnya aku bisa
nemenin kamu..”, jawab Alana sambil mengupas apel, membelahnya menjadi beberapa
bagian, lalu menyuapkannya padaku.
“Makanya,
kamu jangan sampe kecapekan. Kan tahu sendiri, tiap kali kamu kecapekan dan
makan nggak teratur, pasti typhus-mu kumat..”
“Hehe,
iya, maaf ya..”
“Bandel,
sih, kamunya.. Sejak awal aku khawatir kamu pilih jadi reporter. Aku tahu
passion-mu di dunia jurnalistik, tapi kan bisa kamu pilih yang kerjanya di satu
tempat aja, jadi editor misalnya.”
“Udah,
tenang aja, aku nggak apa-apa, kok.. Jangan cemberut gitu, dong, sayang..”
“Hhhh,
emang nggak pernah bisa marah ya, aku ini..”
“That’s
why I love you, honey..”, kataku sambil meraih tangannya. Alana hanya menatapku
dan tersenyum. Senyuman bidadari yang membuatku merasa jadi lelaki paling
beruntung sedunia.
Jam
menunjukkan pukul 9 malam. Alana kemudian berkemas.
“Selamat
istirahat ya, sayang.. Besok aku ke sini lagi..”, kata Alana sambil mengelus
rambutku lembut.
Aku
memandanginya sampai Alana menghilang di balik pintu. Alana, perempuan sempurna
yang secara ajaib bisa melabuhkan hatinya padaku. Siapapun yang mengetahui
bahwa Alana itu kekasihku, pasti segera membelalakkan matanya, atau bahkan
tertawa mengira bahwa aku bercanda. Yeah, aku bisa memaklumi mereka. Alana yang
pintar, Alana yang cantik, Alana yang penyabar, Alana yang begitu baik dan
disukai semua orang. Sementara aku, lelaki yang saking sukanya dengan
jurnalistik, seringkali mengabaikan banyak hal, khususnya penampilan. Terlebih
kisahku dengan Alana bukanlah kisah manis yang penuh dengan romantisme, sampai
saat ini, aku masih saja merasa bahwa mencintai dan dicintai Alana adalah mimpi
paling indah yang menjadi kenyataan.
And every time I think
of it
I pinch myself 'cause
I don't believe it's
true
That someone like you
Loves
me too
Esoknya, Alana
menepati janjinya. Pagi-pagi, dia sudah berada di kamarku, mengupaskan jeruk
dan menyuapkan sarapanku. Selesai makan, aku minta jalan-jalan sebentar di
taman rumah sakit. Alana membantuku bangun, dan berjalan menuju taman. Sampai
di bawah pohon besar, Alana mengajakku duduk di bangku, kemudian membenarkan
letak tiang infusku. Hawa pagi yang segar. Sudah tiga hari aku dirawat, mungkin
besok aku baru boleh pulang.
“Sayang, kamu nggak kedinginan?”,
Tanya Alana. Angin memang berhembus cukup kencang, sekalipun mentari pagi juga
berusaha menghangatkan semesta.
“Nggak kok, kan ada di sebelahmu..”
“Aku serius, kamu nggak kedinginan?
Kalo kedinginan, kita masuk lagi aja ke kamar kamu, ya?”
“Hahahaha, enggak kok, aku nggak
kedinginan..”, jawabku. Namun tetap saja Alana berusaha menyelimutiku dengan
jaket tebalnya.
“Na, aku boleh tanya sesuatu?”
“Boleh, mau tanya apa memangnya?”
“Kenapa kamu masih bertahan sama
aku yang doyan sakit-sakitan kayak gini?”, tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
Aku melihat matanya mendelik, alisnya mengerut.
“Kok tanya gitu, sih?”
“Ini bukan ke dua atau tiga kalinya
aku opname gara-gara typhus, udah sering banget. Kamu juga yang selalu ikut
ngerawat aku. Apa kamu nggak capek? Apa nggak pernah terbersit sedikit di
pikiran kamu untuk ngerasa lelah dan berpikir buat ninggalin aku?”
“Capek ya? Pernah sih, tapi….”
“Tapi apa?”, sahutku penasaran.
Alana lalu tersenyum.
“Tapi, aku terus-terusan bertanya
sama Tuhan, apa rasa lelah itu jadi pertanda kalau aku harusnya ninggalin
kamu..”
“Lalu?”
“Lalu aku dapet jawabannya..”
“Apa?”
“Rasa lelah itu justru jadi
pertanda kalau sesungguhnya aku nggak pernah beristirahat untuk selalu peduli
sama kamu. Aku sayang sama kamu, dan aku nggak perlu alasan untuk itu. Aku
nggak bisa menjanjikan waktu yang aku nggak tahu sampai kapan akhirnya. Aku
nggak bisa menjanjikan perasaan yang bukan aku penguasanya. Aku Cuma memohon
satu hal sama Tuhan..”
“Memohon apa?”
“Aku memohon supaya Tuhan nggak
berhenti menjadikan aku perantara untuk kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang
diberikan Tuhan sama kamu..”
Perempuan di
sebelahku ini memang bidadari yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku kehabisan
kata-kata mendengarkan jawabannya barusan. Aku hanya tersenyum, dan menggenggam
tangannya erat.
Girl, I think that you're truly
somethin'
And you're, you're every bit of a
dream come true
With you baby, it never rains and
it's no wonder
The sun always shines when I'm near
you
It's
just a blessing that I have found somebody like you
* * *
Siang
itu mendung masih menggelayut di langit. Sementara hujan turun deras di wajah
Alana. Setelan hitam-hitamnya masih belum terlepas. Napasnya masih tersengal-sengal,
bahunya sesekali terlihat berguncang karena sesenggukan. Di tangannya yang
bergetar, ada selembar surat.
Dear Alana-ku..
Mungkin ketika kamu membaca surat
ini, aku sudah berada di alam yang berbeda. Sungguh aku tidak ingin melihatmu
bersedih, apalagi menangis. Maafkan aku karena tidak pernah menurutimu untuk
tidak menjadi seorang reporter. Maafkan aku yang selalu membuatmu khawatir
karena pekerjaan yang menuntutku untuk kerapkali memforsir tenaga ini masih
saja kugeluti. Maafkan aku.
Aku ingin kamu tahu bahwa aku cinta
sama kamu. Mungkin aku sudah pernah bilang, tapi aku selalu ingin mengatakannya
lagi dan lagi. Terimakasih untuk selalu peduli, merawat, menjaga, dan banyak
hal yang terlalu banyak untuk aku sebutkan di sini.
Ketika aku menulis surat ini,
ingatanku melayang ke 10 tahun yang lalu, waktu kita pertama kenal di SMA dulu.
Sampai kita lulus, aku mengungkapkan perasaanku, lalu kamu kuliah di Inggris
selama 4 tahun. Selama itu aku berusaha mencari penggantimu, seperti yang kamu
sarankan, karena kamu tidak menjanjikan apapun untukku saat itu. Namun selama
itu pula aku sampai pada kenyataan bahwa, aku tidak pernah ingin mencari orang
lain selain kamu. Aku memutuskan untuk menunggu, dan entah dari mana datangnya,
aku yakin kalau menunggumu pulang bukanlah sesuatu yang sia-sia pada akhirnya.
Dan ternyata aku benar.
Terimakasih untuk segalanya, Alana.
Tetaplah menjadi bidadari untuk banyak orang, karena sungguh aku percaya Tuhan
akan selalu menjadikanmu salah satu perantaraNYA dalam memberi kebahagiaan
untuk orang-orang di dekatmu. Dan sekali lagi, maafkan aku.
Selamat tinggal Alana..
Yang
mencintaimu,
Evan
Alana
menangis, air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Ditatapnya selembar surat
kabar di atas meja di samping tempat tidurnya. Seorang reporter meninggal
dunia, dialah Evan. Evan sedang bertugas di suatu pulau terpencil, meneliti
kebudayaan di sana, sampai typhus kembali menyerang sistem imunnya. Tapi ia
mengabaikannya, hingga typhus itu menjalar ke liver, dan membuatnya tidak
tertolong lagi.
Alana
melangkah mendekati jendela. Hujan sudah berhenti, iapun menyeka airmata di
ujung matanya. Ia menatap pelangi yang ada di langit, dan seperti mendapati
Evan di sana. Alana menerawang jauh, ingatannya juga melayang ke tahun-tahun
terakhir yang dilaluinya bersama Evan.
Girl, it's been a long,
long time comin'
But I, I know that it's
been worth the wait
It feels like
springtime in winter
It feels like Christmas
in June
It feels like heaven
has opened up it's gates for me and you
And every time I close
my eyes
I thank the lord that
I've got you
Lagu
everytime I close my eyes mengalun pelan dari radio yang belum dimatikannya
sejak malam kemarin. Alana memejamkan matanya.
“Kamupun
adalah hal terindah yang pernah dikirimkan Tuhan untukku, Evan..”
0 komentar:
Posting Komentar