Aku telah selesai mencuci mukaku sore itu. Tatkala petang mulai beranjak turun. Hujan sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Kamu mengirim pesan bahwa nanti akan datang. Bukan mau kemana-mana, sih. Kamu hanya ingin menghabiskan sore di rumahku. Jadi aku bergegas membuatkan dua gelas teh hangat dan beberapa biskuit kutata di atas piring. Aku membawa kesemuanya itu dalam sebuah nampan bermotif kayu, menuju ke teras. Benar saja, kamu sudah berdiri di luar pagar, hendak memencet bel.
Akhirnya kita duduk bersebelahan. Menikmati sore, hal yang sudah lumayan jarang kita lakukan.
"Nia, lihat deh, ada pelangi, tuh! Kamu suka pelangi, kan..", katanya sambil menunjuk ke langit. Ah, iya. Itu pelanginya. Indah sekali.
"Iya.. Bagus banget, ya..", sahutku sambil menyeruput teh.
"Dulu, ibuku sering cerita, kalau di ujung pelangi sana, ada tempat yang indaaah banget. Tempat di mana kita bisa ngerasa damai, lupa sama semua masalah. Pokoknya yang ada cuma seneng aja, deh, tenang gitu.. Aku suka ngebayangin aku jalan di pelangi itu, sampai ke ujungnya, dan nemuin tempat yang diceritain sama ibu. Tapi, makin gede, aku makin ngerti, sih. Mana ada tempat kayak gitu. Hahaha..", uraiku sambil terus saja memandang langit.
"Kata siapa nggak ada.."
"Emang beneran ada? Di mana? Jauh nggak?", tanyaku sambil menatap wajah Rian. Kuharap kali ini dia tidak sedang menggodaku seperti biasanya.
"Emang ada, kok. Nggak jauh juga.."
"Oh ya? Di mana?"
"Di sini, di samping kamu.."
Aku terdiam. Mungkin karena malu, mungkin karena merasakan hal yang sama. Aku merasakan pipiku menghangat, bersemu merah.
0 komentar:
Posting Komentar