"Jo, aku nggak tau kenapa jadi begini. Aku harus gimana??", Arina meminta jawaban dariku yang sedari tadi kebingungan melihat tingkahnya di hadapanku.
"Rin, jujur ya, aku.. Aku nggak biasa ngeliat kamu yang.."
"Yang kayak apa? Yang kayak gini? Yang merengek seperti anak ayam kehilangan induknya?," potongnya cepat. Arina yang ini masih kukenal, tapi yang merengek beberapa menit sebelumnya, entahlah.
"Entahlah.. Memangnya dia udah ngelakuin apa, sih, sampe kamu bingung kayak gini?"
"Dia membuat aku, membuat aku sejenak menjadi perempuan biasa.."
"Perempuan biasa? Maksudnya?," aku mengernyitkan dahiku tanda tak paham. Arina, perempuan baja rekan kerjaku beberapa tahun belakangan, yang kini sudah satu tingkat jabatan di atasku, membuatku kebingungan dengan pembicaraannya yang mbulet. Sangat berbeda dengan Arina yang tegas, yang kata-katanya cenderung menusuk alias ceplas-ceplos bisa jadi se-membingungkan ini. Ada apa? Aku bertanya-tanya dalam hati.
"Iya, Jo. Perempuan biasa, yang akhirnya harus mengakui kalau aku juga bisa.."
"Bisa apa?"
"Bisa jatuh cinta," tukasnya cepat. Sepertinya dia tidak ingin terlihat lemah saat mengatakannya. Dia ingin tetap terlihat kuat saat mengatakannya, seakan tidak ingin menghilangkan kesan bahwa ia bukanlah wanita yang lemah, yang kemudian menggunakan perasaan sepenuhnya dalam menghadapi ke-jatuh-cintaan-nya.
"Wooow! Selamat, Arinaa, my Boss! Jadi, sekarang, siapa orangnya? Siapa orangnya yang ternyata bisa membuatmu melemah sejenak dan mengakui kalau kamu jatuh cinta?"
"Ada, deh!"
Arina mengerling tepat di depanku dan membuatku nyaris tersedak kopi yang sedang kuseruput. Cinta. Ya, cinta..
0 komentar:
Posting Komentar