Beberapa hari yang lalu, aku menemui salah seorang dosen favorit untuk membicarakan proyek penulisan jurnal jurusanku. Setelah membicarakan jurnal-jurnal yang harus diedit, sambil menunggu file-nya selesai dan ditransfer ke flashdisk, kami mengobrol. Beliau bercerita mengenai beberapa anak bimbingannya yang sudah lulus.
Dosen: Saya lho, kapan hari disms sama si ***** sama ******, mereka ini pada galau belum dapat kerja. Weees, wess. Dulu nggalauin saya pengen cepet lulus, sekarang udah lulus juga galau belum dapet kerja (cerita beliau sambil senyum dan geleng-geleng). Kamu nggak galau juga Ul ??
Aku: Waduh, kalau saya sih, Pak, kadang-kadang ya galau kalau ditanya 'sidang kapan?' atau 'kapan lulus?', yaa galaunya mahasiswa tingkat akhir. Tapi yaa nggak terlalu diambil hati juga, Pak. Masalahnya, selama kita hidup, pasti juga selalu dapet pertanyaan-pertanyaan semacam itu, cuma stage-nya aja yang beda.
Dosen: Ha? Gimana itu maksudnya?
Aku: Yaa, gini pak contohnya. Kalau belum lulus pasti ditanya 'kapan lulus?', nanti kalo udah lulus ditanya 'kapan kerja?', nah nanti kalo udah dapet kerja juga masih ditanya 'kapan nikah?', lha setelah nikah pun pasti ada aja yang tanya 'kapan punya anak?', gitu, pak..
Sejenak setelah mendengar jawabanku, Beliau pun tertawa terbahak.
Dosen: Hahahahahaha, iya yaa, bener juga. Nanti kalo udah punya anak ditanyain 'kapan nambah anak ke 2 dan seterusnya'.. Yayayaya, cerdas ya kamu, saya aja nggak nyadar.. Hahaha
Nah, gimana? Adakah di antara kalian yang udah kena pertanyaan-pertanyaan tersebut? Hehehe. Biasanya, pertanyaan macem itu akan mulai berdatangan ketika kita masuk usia 20an ke atas. Usia di mana kita akan memasuki dunia kerja, dunia pernikahan, dunia yang sesungguhnya, yang sudah nggak seindah jaman haha-hihi semasa sekolah atau kuliah. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap membikin galau, nggak bisa dipungkiri emang. Tapi, yaaa jangan dimasukin ke hati lah ya, rugi sendiri nanti.
Sebenarnya, apa yang kita rasakan sebagai dampak dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu bergantung pada cara kita menyikapinya.
Yang pertama, adalah mereka yang menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai suatu tuntutan. Waah, kalo gini caranya ya bisa stres sendiri. Karena, dalam beberapa hal, manusia begitu pandai menemukan apa yang kurang dari diri kita. Misalnya, sudah lulus kuliah dengan nilai bagus tapi belum dapet kerja, udah punya karir bagus tapi belum nikah, dan lain-lain. Bayangin aja kalo kita menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu sebagai tuntutan, bisa-bisa galau berkepanjangan nih..
Yang ke dua, adalah mereka yang menyikapinya dengan santai. Actually, sikap ini yang paling menguntungkan. Bagaimana tidak, pertanyaan-pertanyaan kayak gitu nggak cuma dilontarkan sama 1 orang. Kalo nggak nyantai nyikapinnya ya kasihan sama diri sendiri. Hehehe. Ya, dijawab aja semampunya, seadanya. Lagipula, yang menjalani kan kita. Bukan semata-mata mengabaikan, sih, tapi lebih pada menyaring apa yang harus dan tidak harus kita anggap serius. Misalnya gini, nih. Ada seorang mahasiswa tingkat akhir yang tiba-tiba di-judge ngerjain skripsinya lamban dan nggak lulus-lulus. Padahal orang itu nggak tahu apa aja hambatan, tantangan, dan usaha yang dilakukan oleh si mahasiswa. Apalagi, waktu tempuh studinya masih normal. Nah, yang kayak begini ini, boleh lah yaa dianggap sebagai pemacu biar makin cepet ngerjain skripsinya, tapi ketika menghadapi orangnya ya santai aja, iya-in aja. Percuma juga cerita panjang lebar sama orang yang nggak mengerti apa aja yang sudah kita alami, kan. Buang-buang waktu juga.
Tapi perlu diinget juga, ketika yang bertanya atau yang men-judge kita ini adalah memang orang yang sangat berkepentingan dengan kita dan masalah kita, kita wajib lho menjawab dan menjelaskan, karena dampaknya kena kita juga, misalnya aja orang tua, keluarga, dosen pembimbing, kekasih, atau yang lainnya. Kitanya yang mesti pinter-pinter memilah dan memilih, mana yang memang sekedar butuh jawaban, mana yang memang butuh penjelasan yang sejelas-jelasnya dari kita.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang tergolong pertanyaan yang tidak berkesudahan. Karena ya itu tadi, kayak yang aku bilang, dalam beberapa hal, manusia tuh pinter dalam menemukan apa yang kurang dari diri seseorang. Jadi, udah tau kan, mesti gimana dalam bersikap? Nyantai aja, lah.
Mengutip mention seseorang bernama Agus ketika menanggapi postingan ini, "kalo untuk kebaikan sebut saja motivasi dan doa, kalo kejelekan sebut saja peringatan dan perhatian"
Setiap orang yang bertanya memang berhak untuk mendapatkan jawaban. Tapi untuk membuat mereka mau mengerti dan memahami, itu bukan kewajiban kita :)
aku sampe bosen ditanya hal itu terus kakaknya, nice share..
BalasHapushappy blogwalking :)
hahaha, iya, emang ngebosenin, let it flow ajaaah..
Hapusmakasi udah mampir dan komen yaa :D
happy blogging :D
kerja mah gampang, tp lulus dengan tidak nyontek itu yang susah :)
BalasHapusnggak ada yang susah, selama kita terbiasa dan berusaha :)
Hapusmakasih uda nyempetin mampir dan komen ya mas andy :D