"Aku akan pulang," kataku.
"Kapan?" tanyamu
Aku menggigit bibir bawahku sambil memejamkan mata. Demi apa, ini adalah pertanyaan paling sulit. Ya, walaupun masih lebih sulit hitungan-hitungan fisika jaman SMA yang tak pernah kupahami beberapa tahun yang lalu.
"Mmmm,"
"Kapan?"
"Aku pasti pulang, pasti, hanya saja.."
"Hanya saja??"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Hanya saja, aku nggak tau kapan."
"Tapi Saf, aku.."
"Maaf, Ndre, ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Sudah, ya.. Maaf, bye.."
"Bye.."
Aku menutup telepon. Masih sempat kudengar suara napasnya yang juga dalam. Suara napas yang bukan mengisyaratkan kelegaan, tapi kelelahan. Andre selalu bernapas dalam-dalam ketika ia sedang jenuh, lelah, ketika ada hal yang tidak bersahabat dengannya. Aku masih hapal kebiasaannya, bahkan setelah tiga tahun berlalu.
* * *
Ruangan berdekorasi putih ini memang sangat menawan. Harus aku akui itu. Tidak begitu banyak pernak-pernik di sana-sini. Kesannya minimalis, tapi sakral. Suasananya sangat hangat dan bersahabat. Semua orang berbaur, bahkan mereka berdua, juga berbaur di antara tamu. Hanya saja, mereka berdua ditempatkan agak di depan, sehingga para tamu bisa lebih mudah menemukan mereka. Aku berjalan semakin dekat dengan mereka. Aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Ada satu bagiannya yang teriris, perih. Tapi bagian lainnya mencoba menyembuhkan dengan cara membuatku ingat, bahwa memang inilah yang aku harapkan. Dan aku harus menerimanya. Harus.
"Selamat ya, Andre, Mita.."
Aku menyalami keduanya. Andre terus memandangiku sampai aku berlalu dari tempat mereka berdiri. Aku bisa merasakan tatapan mata tajam yang dulu membuatku jatuh cinta itu terus mengikuti aku. Air mataku nyaris menetes, tapi aku terlalu pandai menyimpan perih. Jadi aku mencoba tersenyum, terlihat baik-baik saja. Sampai kurasakan ada seseorang yang menyentuh pundakku, memaksaku untuk berbalik.
"Gimana kamu bisa.."
"Bisa tau kalo hari ini kamu nikah? Andre, sejak dulu, aku selalu punya mata-mata yang lebih banyak dari kamu..," aku mengatakannya sambil tertawa kecil, mencoba menghambat air mata ini turun dari peraduannya. Aku tak mau.
"Aku sudah bilang bahwa aku akan pulang. Sekarang aku pulang, aku ada di hadapan kamu. Aku sudah menepati janjiku untuk pulang, kan?" kataku.
"Tapi kenapa sekarang? Kenapa nggak satu tahun lalu? Sebelum aku melamar Mita.." katanya gusar. Aku tahu dia gusar, dari matanya. Tatapan mata yang biasanya tajam itu akan seketika buyar ketika ia merasa gusar.
"Kamu masih ingat kata-kata terakhirku sebelum aku pergi dari kota ini?"
"Bahwa Safina akan pulang ketika Andre sudah pulang?"
"Iya, yang itu. Kamu belum tahu artinya sampai sekarang?" tanyaku. Andre menggeleng.
"Aku, Safina, akan pulang ketika Andre sudah pulang, pulang ke hati wanita yang benar-benar mencintainya, yang benar-benar tak ingin kehilangannya, yang masih menginginkannya ketika dia sudah bersamaku, yang aku yakin, cintanya lebih besar dan mendalam dibandingkan aku.."
0 komentar:
Posting Komentar