Aku masih tidak mampu melapaskan pandangan dari wajahnya yang pucat. Garis-garis rahang yang tegas dan biasa menyambutku dengan tawa itu sekarang hanya terkatup rapat. Tak ada suara yang keluar dari sepasang bibirnya yang kerap menyapa pipiku ketika kami bertemu setelah minggu-minggu yang penuh dengan kesibukan.
Aku sungguh mencintai lelaki yang sekarang terbujur di hadapanku ini. Aku mencintai kelembutan hati yang tersimpan dalam raganya yang kuat dan kokoh. Sebuah kebanggaan tersendiri buatku, saat dia menjadikanku sandaran atas segala keluh dan kesahnya. Itu membuatku merasa dibutuhkan.
Sekarang aku hanya bisa melihatnya terdiam, benar-benar diam.
Aku menyentuh tangannya perlahan. Dan, hei, dia membuka matanya!
Aku tak sanggup berkata-kata. Akhirnya ia bangun juga setelah koma beberapa minggu. Akupun bersiap keluar ruangan untuk memanggil dokter, sebelum tangannya menggenggam telapak tanganku dan berkata,
"Jangan pergi, Rheina.."
Air mataku jatuh. Aku menatap pandangan matanya yang kosong. Seketika aku tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar ada di dalam hatinya.
"Aku Erika, bukan Rheina..," batinku.
dimanakah Rheina berada? Sudikah ia berkata "maaf" pada pria itu?
BalasHapus