pict from idgofreedownload.com |
Mendung
tebal masih juga menggelayut di langit Jakarta sore ini. Seperti biasa, aku
sudah membeli makanan untuk makan malam. Kamar kosku ada di lantai paling atas,
dan itu membuat kakiku malas melangkah ke mana-mana kalau sudah berada di
dalam. Angkot 01 yang kunaiki berjalan lambat, macet, pemandangan yang biasa di
jam-jam pulang kerja seperti saat ini. Aku melirik arloji, nyaris pukul 6 sore.
Tepat di bawah jembatan penyeberangan, aku turun dari angkot, kemudian
menyeberang.
Aku
suka memandangi sekitar ketika berjalan kaki. Hari inipun juga. Ah, tunggu.
Sepertinya itu perempuan yang kemarin. Perempuan cantik dengan kulit putih
bersemu merah tentulah sangat mudah mencuri perhatian di halte tua di jalanan
menuju kosku. Haltenya sudah reyot, sudah mengelupas catnya di hampir seluruh
bagian. Makhluk bening seperti perempuan itu mudah sekali menjadi aksenstuasi
di sana. Aku hanya berjalan melewatinya. Matanya menatap ke jalan raya, tapi
tidak tampak sedang menunggu angkot, metromini, dan semacamnya. Pandangannya
kosong. Aku mempercepat langkahku, tiba-tiba hujan deras, payungku ada di kamar
kos.
***
“Misha..”
Ooh,
namanya Misha, nama yang cantik untuk perempuan cantik. Sekilas terlihat olehku
bulu matanya yang panjang dan lentik, kutebak dia tidak perlu menghabiskan
anggaran untuk beli maskara. Hahaha, ah mikir apa aku ini.
“Jadiii, Misha ngapain di sini? Kayaknya nggak lagi nunggu angkot, ya kan?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.
“Ah?
Iya, kok Rery bisa tau aku nggak lagi nunggu angkot?” dia malah balik bertanya
dan tersenyum padaku. Kalau aku laki-laki, mungkin aku akan jatuh cinta saat
ini juga karena melihat senyumnya. Ini orang apa bidadari, sih?
“Ya
iyalah, kamu duduk lama di sini, banyak angkot, metromini, kopaja lewat, tapi
akhirnya kamu malah pulang jalan kaki..”
Aku
menggigit ujung Sari Roti rasa cokelat yang ditolaknya dengan halus. Untung sih
ditolak, aku sedang kelaparan gara-gara melewatkan makan siang di kantor tadi.
“Eeh?
Gimana kamu tau aku pulang jalan kaki??”
“Tuh,
aku lihat dari situ, tuh..” kataku sambil menunjuk balkon kamar kosku. Aku
memang mengamatinya dari sana belakangan ini. Dia benar-benar hanya duduk di
halte, kemudian pulang ketika hari mulai gelap.
“Oooh.
Hmm.. Aku.. Nggak ngapa-ngapain..”
“Bohong
banget! Kenapa sih? Kamu habis patah hati? Linglung gitu, sih.. Hahaha”
Lalu
kulihat matanya meredup, wajahnya menunduk sambil mempermainkan kedua ujung
sepatu merahnya.
“Umm,
sorry.. Aku nggak maksud apa-apa..
Kalo kamu keganggu, aku bisa pergi, kok,” kataku sambil beranjak meninggalkannya.
“Iya.”
“Apa?”
“Iya, aku habis patah hati.”
Aku mengurungkan niat untuk pergi.
“How come? Mind to tell me?”
“He left me here. Nggak bisa cerita secara lengkap, tapi, yaa, singkatnya.. I feel that I won’t get another guy like him, he’s sooo perfect..”
“Are you kidding me??” aku tertawa lumayan keras, tapi kemudian terdiam, dan malah ikut-ikutan sendu.
“Aku juga pernah ngalamin kayak kamu..”
“Oh ya?”
“Iya. Mungkin 2 tahunan yang lalu. Dia tunanganku. Dia sempurna. Dia pintar main gitar. Dia punya suara yang indah. Dia perhatian. Dia selalu meluangkan waktu setiap aku minta bertemu, tak peduli betapapun sibuknya. Dia sabar setengah mati. Dia selalu memaklumi kesibukanku. Dia mendukung mimpiku untuk jadi penulis terkenal. Dia sungguh-sungguh sempurna untukku. Sampai akhirnya aku sadar, dia terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan..”
“Lalu? Kenapa kalian pisah?”
“Ada masa lalu yang nggak bisa dia tinggalkan sepenuhnya, dan dia kesulitan untuk memilih. Jadi aku mudahkan jalannya. Aku yang pergi dari hidupnya.”
“Kenapa kamu nggak pertahanin dia? Kan kamu udah tunangan sama dia..” Misha mengubah posisi duduknya menghadap ke aku, nampaknya dia penasaran dengan ceritaku.
“Aku nggak mau menatap masa depan bersama orang yang masih terikat dengan masa lalunya.”
Suara klakson macam-macam kendaraan bermotor membisingkan telinga. Tidak satupun dari aku atau Misha mengeluarkan suara setelah aku mengeluarkan statement itu. Entah apa yang sedang dipikirkan Misha. Sementara aku, membiarkan luka itu menganga untuk sejenak. Mungkin tak apa aku membuka lagi luka itu, supaya bisa turut merasakan apa yang dirasakan Misha saat ini. Luka karena ditinggalkan. Luka karena diragukan.
“Terus? Kamu udah jatuh cinta lagi, kah?”
“Sure! Dia memang nggak akan pernah terganti, tapi nggak berarti kalau aku nggak bakal jatuh cinta lagi,” jawabku yakin.
“6 bulan lagi aku menikah,” lanjutku.
“Really?? Aku ikut senang. Jadi, Rer, calon suamimu, apa sesempurna mantan tunangan kamu yang dulu?”
Aku
tersenyum.
“Nggak. Dia nggak bisa main musik. Suaranya biasa aja. Dia sibuk banget dan cuma punya sedikit waktu buatku. Kami lumayan sering berdebat ini-itu. Tapi..”
“Tapi apa, Rer??”
“Tapi dalam dirinya aku ngelihat masa depanku, demikian sebaliknya, dia pun meyakini aku sebagai masa depannya.”
“Aah, gitu..”
“Sorry Sha, I have to go now. Setengah jam lagi aku mau ketemu orang WO.” Aku meremas sebungkus rotiku yang belum habis.
“Iya. Thanks ya, udah mau cerita-cerita. Padahal kita baru kenal.”
“No problem, Sha.. Ah iya, inget ya, jangan ngomong kayak tadi lagi..”
“Ngomong apaan? Ngomong yang mana?”
“Yang ‘I won’t meet another guy like him’.. Justru jangan sampe kamu jatuh cinta dan ketemu laki-laki kayak dia lagi, lah.. Cari yang lebih baik. Move on. Bukan sekedar move on dari dia, tapi juga dari orang-orang seperti dia. Hati-hatilah, jangan nyari yang sempurna, karena seringkali yang “too good to be true” itu memang bener-bener nggak ada.”
***
Hujan
masih juga mengguyur ibu kota negara. Segelas cokelat hangat di genggaman
tangan masih menjadi kenikmatan tersendiri di tengah hawa dingin. Aku melongok,
mencoba mengamati halte dari atas balkon kamar. Misha sudah lama tak ada di
sana.
inspired by: (menolak) lagu someone like you-adelle :p
Saya suka kalimat ini --> “Aku nggak mau menatap masa depan bersama orang yang masih terikat dengan masa lalunya.”
BalasHapusMakasih, Mbak... Inspiring banget... :)
sama-sama, mbak enny.. :)
Hapusmakasih juga udah menyempatkan mampir mbaca dan ngasi komen.. :D