“Aku
nggak bisa ikutan ya, guys. Sorry,”
kataku.
Seketika
semua mata tertuju padaku, tak terkecuali mata Karin dan Alan. Riuh suara
semangat mereka jadi hening sejenak.
“Kenapa,
La? Kenapa nggak bisa ikut?” tanya Karin menyelidik. Ah, teman sebelah mejaku
itu memang nomor satu kalau soal kepo.
Tapi kupastikan dia nggak akan bisa mengorek apapun tentang hal yang satu ini.
“Mmm, aku
ada agenda lain hari ini, sorry,”
pintaku dengan wajah memelas. Tapi nggak berhasil, karena Karin malah semakin
mendesakku.
“Kenapa
sih, La, tiap kita ajak karaokean, kamu selalu nggak bisa? Kapan tahun kamu
bilang suaramu nggak bagus, kapan hari kamu bilang ada kerjaan yang kudu cepet
diselesain, sekarang kamu bilang ada agenda lain. Sampai-sampai aku udah lupa
lho, berapa ratus kali kamu nolak ajakan untuk karaoke.”
Gawat
deh, kalau Karin mulai ngomel panjang lebar.
“Tau nih,
Ola. Tenang, La, kita bukannya mau ke karaoke plus-plus, kok.”
“Hahaha,
sembarangan ih, Alan. Enjoy your fun time,
guys. I gotta go now, bye!”
Aku nggak
mau berpanjang-panjang. Toh aku nggak bohong, aku punya agenda lain malam ini:
Go to bed earlier.
***
Hari ini
Jakarta diguyur hujan deras. Setelah terlambat beberapa minggu, tampaknya musim
hujan sudah benar-benar datang. Angin kencang dan matahari yang panas menyengat
ketika siang rupanya jadi salah satu tanda kalau hujan sudah menanti untuk
menghujam bumi kala malam tiba. Aku sendiri bukan pencinta hujan, tapi juga
bukan termasuk mereka-mereka yang mengomel tanpa henti ketika hujan turun.
Tengah-tengah saja, aku sudah lupa dengan rasa “terlalu”.
Aku suka
aroma tanah ketika hujan turun. Aku tahu Jakarta sudah penuh dengan aspal, tapi
percayalah, aroma itu masih bisa tercium, kok. Bener deh, aku nggak bohong. Aku
juga suka menikmati hujan dari balik jendela kamarku yang ada di lantai dua.
Biasanya aku hanya akan memandang keluar jendela sambil menyeruput segelas
cokelat panas.
Tapi aku
benci hujan yang turun di jam-jam pulang kantor, seperti saat ini. Kemacetan
adalah hal yang nggak bisa dipisahkan dari kota Jakarta, mungkin mereka sejenis
anak kembar. Lalu, kemacetan juga suatu keniscayaan, sesuatu yang pasti terjadi
di jam-jam sibuk macam pagi hari ketika orang-orang berangkat bekerja, dan sore
hari ketika tiba waktunya pulang. Terakhir, kemacetan akan berada pada levelnya
yang tertinggi ketika kamu berada di jalanan Jakarta, pada jam pulang kantor,
dengan diiringi derasnya hujan.
Demi apa,
itu juga yang kualami saat ini.
Busway
sudah meninggalkan halte Tosari sejak setengah jam yang lalu, tapi menara
kantorku masih jelas terlihat. Thamrin ke Kwitang, kantor ke rumah, bisa
selesai maksimal empat puluh menit. Tapi itu dulu, waktu motorku masih leluasa
membelah kemacetan Jakarta. Beberapa bulan lalu, diberlakukan aturan baru,
motor nggak boleh melintasi daerah Thamrin dan sekitarnya. Jadilah begini
nasibku sekarang, berdesak-desakan di antara penumpang busway yang kutebak juga
baru pulang dari kantornya masing-masing.
Dua jam,
lebih sedikit, akhirnya aku berhasil merebahkan diri di sofa ruang tamu.
Rencana ‘go to bed earlier’-ku
berantakan, karena perutku melilit-lilit kelaparan. Rumah sedang kosong, jadi
aku harus masak sendiri. Aku ingat masih ada beberapa telur dan sebungkus mie
instan di kulkas. Mie kuah, telur setengah matang, dengan irisan cabe rawit
yang banyak. Ah, perutku akan bahagia dengan hal sesederhana itu. Andai hatiku
se-gampangan perutku, ya..
***
Malam itu di halte depan kampus, aku mengutuki diri
sendiri yang lupa membawa payung, sementara musim hujan sedang berada di
puncaknya. Rapat himpunan mahasiwa menahanku pulang sampai jam sembilan malam.
Di halte, aku berharap bisa menemukan bajaj, angkot, atau apalah yang bisa
membawaku pulang, tapi hasilnya nihil. Aku sudah coba menelepon taksi, tapi
semua full. Akupun pasrah menunggu hujan reda, sampai seorang lelaki duduk di
sebelahku, membawa payung warna biru tua yang sedang terbuka lebar.