Travel is discovering the part of yourself that you never knew existed before
Beberapa hari yang lalu, seorang teman kantor mengembalikan buku yang dipinjamnya dariku, Critical Eleven-nya Ika Natassa. Tiba-tiba aku ingat, dulu belum nuntaskan baca quote-quote tentang travelling yang ada di beberapa halaman terakhirnya. Ada banyak quote, yang terhadap beberapanya, kuanggukkan kepala kuat-kuat tanda persetujuan. Nah, berhubung sudah lamaaaaa sekali blog ini kering kerontang, sudah dua bulanan, hiks, aku jadi tertarik untuk mengulas beberapa quote yang aku banget dalam beberapa seri postingan. Kali ini, aku ingin sedikit mengulas tentang quote yang ada di atas itu tuh..
Travel is discovering the part of yourself that you never knew existed before
Totallyyyyyy true!
Melakukan perjalanan membuatmu menemukan sisi lain dirimu yang selama ini nggak kamu ketahui. Ini benar-benar aku rasakan banget. Travel di sini adalah salah satu fase hidupku sebagai perantau. Sudah dua tahun lebih aku hidup di Jakarta, sendirian, nggak ada saudara.
Dulu ketika kuliah, aku membayangkan gimana rasanya hidup jauh dari keluarga. Aku membayangkan gimana rasanya hidup sendirian, ngekos, apa-apa dilakoni sendiri, dan bahkan untuk makan malem atau makan sahur juga mesti mikirin sendiri. Dalam benakku, tentulah aku akan mengalami fase itu ketika sudah berkeluarga nantinya, ngurusin rumah tangga, jadi emak-emak.
Aku anak tunggal yang belum pernah jauh dari keluarga, sejak lahir sampai kuliah ya di Surabaya terus, nggak merantau kemana-mana. Berangkat kuliah, sudah ada sarapan. Pulang malem, makanan sudah di meja. Sahur, bangun lalu bantu dikit-dikit, langsung makan. Semua berjalan begitu nyamannya, sampai akhirnya takdir membawaku ke tempat lain, keluar dari zona nyaman selama dua puluh dua tahun, ya, dua puluh dua tahun!
Januari 2014, aku resmi hidup di Jakarta, setelah penempatan, aku ngekos sendiri. Seperti anak-anak kos pada umumnya, semua dikerjain sendiri. Nyapu, nyuci, ngepel, beres-beres, dan segala tetek bengek pekerjaan rumah yang dulunya enteng, terasa "lumayan". Terutama soal nyuci, kalau di rumah dulu kebantu mesin cuci, di kosan nggak ada mesin cuci, hahaha.
Tapi yaaa, Alhamdulillah, aku bahkan sempat ngerasa amazed sama diriku sendiri (narsis, hahaha), nggak nyangka aja kalau ternyata aku bisa, dan nggak butuh waktu adaptasi yang lama. Bahkan aku mulai belajar masak, walau belum ekspert dan nggak berani nyuruh orang lain makan masakanku, sih, hehe. Setahun yang lalu, ketika Ramadhan pertama yang kulewatkan sendiri saja di kosan, aku bener-bener belajar ngerasain gimana jadi ibu yang mesti nyiapin sahur para anggota keluarga. Bangun lebiiiih pagi, masak nasi, masak lauk, sahur, cuci peralatan masak, dan lain sebagainya.
Ada perasaan hangat yang menjalar di hati, mengetahui bahwa ternyata aku bisa melalui semua itu.. :)
Itu tentang merantau. Baru-baru ini, aku juga ngelakuin something yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
Naik gunung.
Aku suka travelling, terutama wisata alam. Tapi, aku selalu menghindari yang namanya naik gunung. Selain takut ketinggian, aku lumayan gampang capek kalau mesti jalan yang nanjak-nanjak gitu. Nah, sekitar akhir Maret lalu, setelah meyakinkan diri sendiri dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai calon destinasi, berbekal fisik yang udah lumayan nggak lemah-lemah amat karena tiap Jumat rutin lari di lapangan banteng, aku menerima ajakan teman kantor untuk ngebolang naik Papandayan.
Mungkin orang-orang yang sudah pernah naik gunung yang lebih "canggih" dari Papandayan bakal ketawa aja lihat postingan ini. Karena, Papandayan itu bisa dibilang gunung wisata, gunung yang ramah pendaki amatiran macam aku, hehehe. Tapi, buatku, memutuskan naik Papandayan itu suatu langkah besar. Langkah besar untuk menantang diriku sendiri.
Alhamdulillah, dengan diiringi restu Ilahi, restu mama, dan kawan-kawan seperpendakian yang baik hatinya, aku bisa lancar naik Papandayan, sampai turun, dan balik ke Jakarta lagi, tanpa kendala yang berarti. Banyak pelajaran berharga yang aku dapatkan dari perjalanan kala itu. Pelajaran bahwa, naik gunung itu serupa menantang diri sendiri dan mengetahui keterbatasan diri dalam saat yang bersamaan. Gimana yaa, cara ngungkapinnya. Misal nih, ketika bertemu medan yang sulit, yang kalau temanmu yang lewat tuh bisa gampang dan enteng aja dengan berjalan biasa, aku merasa "ah temenku bisa lewat kok, masa aku enggak?". Nah tapi, aku juga mesti tahu, aku nggak biasa bawa barang bawaan berat dan mungkin akan bikin nggak seimbang, beda sama temanku yang udah expert pendaki, jadi aku lewatin medan sulit itu dengan cara yang berbeda, merosot misalnya :p
Dan terbukti memang, travelling sedikit banyak akan membantu kita lebih mengenali diri kita sendiri, mengenali limitasi-limitasi diri yang ternyata kita buat terlalu ketat sendiri, menyadari bahwa batasan-batasan akan kemampuan diri itu ternyata selama ini terkungkung oleh ketakutan-ketakutan yang kita ciptakan sendiri.
Jangan takut keluar dari zona nyaman. Jangan takut memulai suatu perjalanan. Jangan takut berada di tempat yang baru. Karena, kadang, hal-hal buruk itu hanya ada di kepala kita sendiri. Ketakutan-ketakutan itu hanyalah imajinasi dalam otak kita sendiri.
DO TRAVEL, AND FIND THE NEW YOU!
nice post
BalasHapusthanks :D
Hapusterimakasih sudah menyempatkn mampir, fitria :)