pict taken from devonapixie.wordpress.com |
Itu juga yang membuatnya memilih
tempat duduk yang tak biasa. Shafa selalu suka tempat duduk di rooftop. Memang
kafe ini tidak begitu tinggi, cuma empat lantai, tapi rooftop benar-benar jadi
tempat favorit Shafa.
“Ya memang nggak bakal kelihatan
kayak di bukit Bintang-nya Jogja, tapi, minum kopi sambil lihat langit tuh,
nikmat banget!”
Begitu katanya ketika Radit
bertanya alasan Shafa selalu pilih tempat duduk di sana. Ah ya, Radit. Lelaki
yang tidak pernah bosan menemani Shafa setiap minggu, bertukar cerita sambil
menyesap kopi perlahan-lahan, berharap waktu tidak akan berlalu demikian cepat.
“Halo, dimana Dit? Eh? Macet? Kok
tumben? Oh iya, aku lihat demo itu di berita sih, tadi sore. Oke, hati-hati.”
Shafa mengeluarkan laptop, menyambungkan
flashdisk. Setelah satu tarikan napas panjang, dilanjutkannya kajian yang belum
tuntas di kantor sore tadi.
Waktu menunjukkan pukul 8 malam
dan kafe ini seperti baru memulai geliatnya. Your Coffee Café, nama yang simple dan mudah diingat. Strategi branding yang utama. Tempatnya tidak
begitu strategis, karena harus berbelok dulu masuk gang, bukan di pinggir jalan
besar. Tapi, dekorasi rumahan, wi-fi
kencang, dan cita rasa membuat orang akan selalu ingin kembali ke kafe ini.
Seperti Shafa dan Radit.
“Hai, Fa, maaf ya jadi lama
nunggunya,” seketika Radit menghempaskan tubuhnya di sofa depan Shafa.
Shafa mendongak sejenak dari
laptopnya, “It’s okay, dude. Udah pesen?”
“Udah. Kok tumben duduk di sini?
Eh, bentar, kamu sakit?”
“Yaa nggak usah sampe melotot
gitu juga kali, Dit. Nggak sakit kok, cuma agak nggak enak badan aja, sih.”
Radit melengos, “Sama aja kali,
Fa, nggak enak badan sama sakit. Kamu sakit-sakit gitu juga masih aja minumnya
yang dingin-dingin.”
“Kamu tahu aku nggak pernah suka
minuman panas. Dan kopi kintamani ini, memang paling pas diminum
dingin-dingin.”
Tak lama kemudian pelayan datang,
mengantarkan kopi pesanan Radit.
“Kamu pesen apa itu?”
“Latte.”
“Latte? Nggak kamu banget.
Kenapa?”
“Seharian perutku nggak enak,
nggak tahu kenapa. Makanya kali ini pesen latte aja.”
“Ooh. Eh iya, kamu katanya ada
berita penting. Berita apaan?” Shafa menutup laptopnya, firasatnya mengatakan
kalau berita penting ini bukan hanya penting untuk Radit. Tapi juga penting
untuknya.
Radit memperbaiki duduknya,
rautnya berubah serius. Latte-nya diminum sedikit sebelum mulai bicara.
“Bu Ratna pindah tugas, Fa.”
“Mmm, Bu Ratna atasan kamu itu
kan? Pindah bagian?”
“Bukan sekedar pindah bagian.
Beliau ditarik ke KBRI di Belanda.”
“Wow! That’s great, Dit!” Shafa
masih belum mengerti arah pembicaraan mereka kali ini.
“Yeah, great, dan aku juga diminta ikut sama Bu Ratna.”
Shafa terdiam. Beberapa detik lamanya mereka
terdiam memandangi gelas kopi masing-masing.
“Belanda kan keren, Dit. Kamu
bisa sekalian lanjut sekolah di sana,” Shafa menyembunyikan sedihnya.
“Iyaaa, sih. Cuma aku nggak
nyangka aja bakal ninggalin Indonesia secepat ini. Tapi asyik juga sih,
petualangan besar baru akan dimulai!” Radit mengepalkan tangannya ke atas dan
menyeringai lebar.
“Eh, gimana, hari ini nggak jadi
juga kencan sama Nando, Fa?”
“Ohmeen. Kamu tahu aku nggak
pernah mau pergi sama dia, please deh.”
Radit tergelak demi melihat muka
sewot Shafa ketika disinggung tentang Nando.
“By the way, temenku ada yang
bikin bisnis baru, Dit!”
“Bisnis apa? Kalau kamu sampe
se-excited ini sih, kayaknya berhubungan sama kopi, nih..”
“Gotchaaa! Kamu emang paham aku
banget. Iya, jadi, konsepnya tuh dia bikin kopi dalam kemasan. Biasanya kan
kalau kopi kemasan tuh jenisnya latte, cappuccino, ini enggak! Kopi asli
Indonesia! Kopi item, kopi murni!”
“Seerius? Kamu udah cobain?”
“Belom, besok kita ke sana aja.
Nggak jauh kok kafenya, di daerah Matraman situ.”
“Yaaa dari kosanmu yang emang di
Kwitang ini sih emang deket. Apa kabar aku yang tinggal di Benhil. Tapi,
sebagai pecinta kopi, okelah aku temenin kamu besok. Itung-itung nemenin kamu
sebelum aku going abroaaaaad.”
Radit mengembangkan tangannya
lebar-lebar, sementara Shafa tertawa tak habis-habis.
***
Sabtu sore yang hujan. Dari tempat duduknya di sebelah jendela, Shafa bisa mengamati dengan jelas rintik hujan besar-besar yang meliuk kesana kemari dihembus angin. Hampir badai, sebab hembusan angin sampai mengeluarkan suara menderu di luar sana. Tapi toh Shafa tetap meninggalkan kamarnya yang nyaman, berjalan kaki melewati beberapa blok rumah untuk bisa sampai ke kafe kesayangannya ini. Untunglah tadi hujan belum begitu deras, bajunya hanya basah sedikit, tapi cukup untuk membuatnya merasa dingin. Tapi, segelas kopi kintamani itu masih saja ditambahi es batu beberapa butir.
Ingatan Shafa melayang ke waktu
pertama kali dia mengenal Radit. Saat itu, fiksi tentang kopi yang ditulis
Shafa berhasil membawanya turut serta dalam Ekspedisi Kintamani, sejenis acara fun gathering bertema kopi yang diadakan
salah satu radio terkenal di Jakarta. Maka, di sanalah dia bertemu dengan
Radit. Sejuknya dataran tinggi Kintamani, Bali, menjadi saksi betapa mereka
dengan mudahnya langsung dekat satu sama lain. Sesama pecinta kopi, pergi ke
tempat dimana salah satu kopi terbaik Indonesia dihasilkan. Apa yang lebih
sempurna daripada itu?
Sepulang dari Bali, lebih banyak
lagi waktu yang mereka habiskan. Obrolan tentang pekerjaan, bertukar oleh-oleh
kopi setelah dinas luar, atau bahkan hanya saling mendengarkan keluhan soal
orang tua yang mulai ribut menanyakan pasangan.
Sudah terlalu jelas cinta yang
dirasakan oleh Shafa. Tapi dia tidak pernah berani mengutarakannya. Tidak ada
yang salah dengan perempuan yang menyatakan perasaannya lebih dulu, Shafa tahu
itu. Dia hanya tak punya keberanian yang cukup besar. Shafa takut perasaannya
akan membuat semua yang sudah ada menjadi berantakan. Biarlah perasaan itu dia
pendam kuat-kuat, asalkan Radit tetap berada di sisinya. Shafa begitu takut
kehilangan ritual Jumat sorenya bersama Radit, menyeruput kopi bersama orang
yang dicintainya diam-diam.
Tapi toh semua itu sudah lama berlalu.
Tiga tahun lamanya Radit di Belanda, dan hari ini, Radit akan membuat semuanya
jelas. Itu yang dikatakan Radit pada Shafa di telepon tadi pagi. Bahwa ia sudah
pulang, bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk dia sampaikan. Setelah tiga
tahun yang amat sepi.
Shafa baru saja akan membereskan
tasnya dan pergi, menyangka Radit tak akan datang sesuai janji. Sampai sosok
lelaki yang amat dikenalnya itu berdiri di hadapannya, membawa kembali nostalgi
yang menyesakkan dadanya.
“Jadi, apa yang mau kamu
sampaikan, Dit?”
Lalu Radit menumpahkan segalanya.
Tentang perasaan yang sekuat tenaga ia abaikan. Tentang dia yang tidak ingin
membuat Shafa menunggu terlalu lama. Tentang perempuan yang sudah coba dia
cintai, namun nyatanya tak cukup untuk membuat bayangan Shafa pergi.
“Kamu terlambat, Radit. Aku
terlambat. Kita yang terlambat,” kata Shafa.
“Maksud kamu?”
“Aku salah karena nggak pernah
jujur soal perasaanku ke kamu. Aku berharap kamu bisa ngerti, kalau aku selalu
lebih pilih ngabisin akhir minggu sama kamu, bukannya sama Nando, itu pertanda
kalau aku suka, aku sayang sama kamu. Tapi ternyata aku salah, karena nyatanya
itu nggak cukup buat kamu bisa ngerti.”
Shafa meneguk kopinya pelan
sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Aku sudah coba menunggu, Dit.
Aku sudah abaikan Nando sekian lama, tapi dia nggak menyerah juga.”
“Maafin aku, Fa. Kita bisa mulai
semua dari awal..”
Shafa menggeleng. “Sayangnya aku
bukan kopi panas kesukaan kamu, Radit. Aku ini kopi dingin, yang kalau kamu
biarkan terlalu lama, kepekatannya perlahan-lahan memudar, rasanya jadi
hambar..”
Hening menggelayuti sekitar
mereka. Dua anak manusia sedang sibuk menata hatinya.
“Itu yang terjadi sama perasaan
aku ke kamu,” tutup Shafa telak.
Shafa menuntaskan kintamani
kesukaannya, lalu meletakkan undangan pernikahan di atas meja. Ada tulisan Shafa & Nando di sana.
Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Aku harap Radit juga sedang berjalan menuju jodoh yang menantinya sama seperti Shafa yang sudah menemukan pasangannya.
BalasHapus