pict taken from goodreads.com |
Actually sudah cukup lama merampungkan baca buku ini, tapi baru sempat bikin reviewnya sekarang. Setelah Critical Eleven (bisa baca review yang aku buat di sini), aku memutuskan untuk beli buku terbarunya Ika Natassa, The Architecture Of Love. Novel juga, masih soal romansa juga.
Novel Ika kali ini menceritakan seorang penulis bernama Raia, yang sedang mengalami writer's block parah. Setelah menelurkan karya hebatnya, tiba-tiba dia jadi stuck nggak bisa nulis apa-apa lagi. Tidak ada satu karya pun yang bisa dia hasilkan, layar laptopnya tetap kosong walau dia sudah berusaha mati-matian mengetik setidaknya sebuah cerita. Jadilah Raia memutuskan untuk pergi jauh sejenak, berharap bisa menemukan inspirasi di tempat barunya nanti. New York jadi pilihan Raia untuk menyehatkan jiwa penulisnya lagi.
New York memang menyimpan banyak cerita, tapi, sampai musim berganti pun, Raia tidak kunjung menemukan secuil ide untuk karya barunya. Di tengah rasa frustasinya, Erin, sahabat Raia, yang juga memberi tumpangan hidup untuk Raia selama di New York, mengajak Raia pergi ke pesta tahun baru yang digelar teman-teman kuliahnya. Di sanalah Raia bertemu dengan River, lelaki yang nantinya menjadi chapter baru dalam cerita hidup Raia.
Novel The Architecture of Love ini, sebagaimana novel romantis lainnya, menurutku punya ending yang mudah untuk ditebak. Jadi, buat aku pribadi, dari segi jalan cerita, nggak begitu mengaduk-aduk perasaan. Nggak sampai bikin terenyuh, apalagi sampai menitikkan air mata, walau ada part sedihnya juga. Kalau diminta ngasih nilai, ummm 3 of 5 lah. Itu juga bukan tentang story-nya yang bikin aku kasih nilai 3, tapi hal lain yang justru lebih menarik daripada keseluruhan kisah Raia dan River itu sendiri. What was that?
Aku suka banget cara Ika Natassa menciptakan tokoh-tokoh dalam buku ini. Harus aku akui bahwa, Ika punya kemampuan bikin penokohan yang kuat dan menarik, dengan detail-detail yang bikin aku mikir "astaga kepikiran banget yaa bikin tokoh yang punya kebiasaan macam ini..". River, tokoh utama lelaki dalam novel ini, diceritakan sebagai sosok yang cool, nggak banyak bicara, fully passionate in architecture. Di antara semua sifat/karakter yang manly banget macam itu, River punya kebiasaan lucu yaitu nyobain popcorn bioskop. Dia bahkan punya daftar urutan popcorn terenak di bioskop-bioskop New York. Hal-hal semacam ini yang bikin aku suka baca novelnya Ika Natassa, penokohan yang kuat dan menarik.
Sementara itu, my con's about this novel adalah terlalu banyak detail penceritaan yang menurutku nggak seberapa perlu, yang berakibat pengen langsung nge-skip aja ke halaman berikutnya. Mungkin ini juga pengaruh PoV orang ke tiga, jadi penulisnya kudu menjelaskan sejelas mungkin perasaan atau sesuatu yang lagi ada di pikiran para tokohnya. Oh iya, dalam novel The Architecture of Love ini juga bisa dijumpai part yang pakai gaya penceritaan dua sisi, seperti yang Ika tulis sebelumnya di Critical Eleven.
Overall, I'm not gonna say that this is a must buy novel. Tapi, kalau kamu suka memperhatikan hal-hal kecil selain jalan cerita (yang biasanya jadi fokus utama penikmat fiksi) seperti aku, misal tertarik dengan detail penokohan atau cara penulisnya menggambarkan setting cerita, bolehlah coba dinikmati karya terbaru Ika Natassa ini.
Jadi, setelah ini baca buku apa lagi ya? :)
0 komentar:
Posting Komentar