Aku
selalu suka penerbangan di pagi hari. Itulah sebabnya, bisa dihitung dengan
jari aku naik pesawat ketika hari sudah gelap. Aku lebih suka memandang angkasa
yang benderang, dibanding mengamati kerlip lampu kota dari ketinggian. Jadi sepagi
ini, di kala orang-orang lebih memilih bergelung di balik selimutnya berteman
hawa dingin hujan, aku sudah turun dari mobil dan melangkahkan kaki masuk
bandara.
Penerbanganku
masih sekitar dua jam lagi, jadi aku memutuskan untuk mampir dulu ke kedai kopi
sejuta umat. Segelas green tea frappe dan dua potong risol sepertinya cocok
mengganjal perut untuk sementara waktu.
Salah
besar jika aku mengira sepagi ini orang-orang belum berminat minum kopi. Kedai ini
penuh sekali. Ah, ada satu kursi kosong ternyata, di depan seorang perempuan
muda. It’s okay, semoga dia mau sharing meja denganku.
“Permisi,
mba. Saya boleh duduk di sini?” tanyaku sambil mencoba menemukan kedua matanya
yang menerawang ke pintu masuk gerbang keberangkatan, seperti menunggu sesuatu.
Atau seseorang?
“Oh,
boleh. Kosong kok, silakan,” katanya sambil tersenyum, membuat kedua lesung
pipinya terlihat jelas.
Aku
pun duduk, dan segera menyeruput green tea frappe-ku. Green tea frappe dingin. Bahkan
di hari yang dingin pun aku tetap suka minuman dingin. Aku tak pernah suka minuman
panas, menurutku itu tidak bisa menghilangkan dahaga sama sekali. Perempuan muda
di depanku ini hanya diam. Aku juga tidak mengajaknya berbicara. Entahlah,
sepertinya dia juga tidak begitu berminat untuk mengobrol.
Kebekuan
itu hanya bertahan sekitar sepuluh menit, sampai kulihat air matanya menetes
dan membuatku hampir tersedak.
“Mba,
perlu tisu?” aku mengangsurkan sekotak tisu travel
pack-ku kepadanya. Dia tersenyum, mengambil beberapa lembar, lalu terdiam
lagi.
Tepat
sebelum aku mengeksekusi potongan terakhir risol di piring, perempuan ini
akhirnya bicara juga.
“Saya
boleh cerita?” tanyanya.
What?
Cerita? Memangnya kita saling kenal? Tapi demi melihat matanya yang masih
berkaca-kaca..
“Sure,
why not. Mba mau cerita apa?” kataku akhirnya. Tak ada ruginya aku
mendengarkan, toh penerbanganku masih lama.
“Kamu
pernah nggak, sengaja ingin pergi dari seseorang yang kamu sayangi?” tanyanya
sambil menatapku. Matanya mengerjap-ngerjap, seolah mencegah tetesan air
matanya mengalir lagi.
“Mmm,
nggak pernah, sih, mba. Kenapa memangnya?”
“Itu
yang sedang saya lakukan sekarang. Pergi dari orang yang saya sayangi selama
tiga tahun belakangan ini.”
Hening
sejenak, aku bingung harus bagaimana menanggapinya. Haruskah aku melempar pandangan
bersimpati? Atau cukup ucapan “oh” saja? Mimpi apa lah aku dicurhati orang yang
tidak aku kenal pagi-pagi seperti ini.
“Hah?
Kenapa harus pergi Mba?”
Aku
mencoba terlihat tertarik dengan ceritanya, siapa tahu itu bisa sedikit
menghibur hatinya. Sok sekali, padahal aku sendiri sedang butuh dihibur.
“Karena
nggak akan ada masa depan buat kami berdua..” kalimatnya terasa menggantung,
dan yaaa, aku mulai penasaran sungguhan.
“Mmm,
memangnya dia siapanya Mba? Pacar Mba?”
Tiba-tiba
dia tersenyum, kemudian menarik napas panjang, seperti bersiap untuk bercerita
panjang lebar.
“Jakarta
sudah lebih dari sekedar kota rantauan buat saya. Dua tahun pertama yang sepi,
sampai di tahun ke tiga, dia datang dan hari-hari indah saya pun dimulai. Dua
tahun lamanya kami dekat, mencoba saling tahu kesukaan masing-masing, pergi ke
kedai kopi setiap hari Sabtu, berkirim kabar ketika sedang berjauhan, dan
banyak lagi hal-hal indah yang sampai sekarang masih melekat di ingatan saya. “
Aroma
kopi menguar di seantero kedai. Hiruk pikuk orang-orang yang mengobrol di
sana-sini seketika seperti hilang suara di telingaku. Entah bagaimana caranya,
perempuan berbaju merah maroon di depanku ini seakan menghipnotis aku untuk
turut meresapi ceritanya, menyelami luka yang sedang merayapi hatinya, sejenak
lupa kalau aku sendiri punya luka yang harus disembuhkan.
“Hmm,
lalu?” tanyaku ragu-ragu.
“Lalu
setahun yang lalu, kami memutuskan untuk membawa hubungan kami ke arah yang
lebih serius.”
“Pernikahan?”
tanyaku tercekat.
“Tepat.
Tapi semua tidak berjalan dengan mulus seperti bayangan kami sebelumnya.”
“Why?”
“Difference.”
“Perbedaan
apa?”
“Perbedaan
yang nggak mungkin untuk disatukan.”
“Bukannya
segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya, Mba? Memangnya perbedaan apa yang
sampai nggak mungkin untuk disatukan?” tanyaku tak paham.
“Jalan
keluarnya hanya satu, saya atau dia dilahirkan kembali. Dan itu mustahil, kan?
Kita nggak pernah bisa memilih rahim tempat kita berdiam hingga lahir ke dunia.”
Dia
tertawa kecil, tawa yang pahitnya bisa terasa sampai ke ulu hati. Aku masih tak
paham juga perbedaan apa yang dia bicarakan. Tapi, memperkirakan bahwa mempertanyakan perbedaan itu akan membuat luka hati perempuan ini semakin menganga lebar, kuurungkan niatku.
“Ehm,
lalu kalian memutuskan untuk berpisah, gitu?”
“Saya
yang mundur. Pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua orang anak manusia. Lebih
dari itu, pernikahan itu momen bersatunya dua keluarga. Kalau sejak awal
keluarganya nggak bisa menerima saya, untuk apa bersikeras dilanjutkan. Itu yang
ada dalam pikiran saya.”
“Dia
tahu, hari ini Mba pergi?” selidikku demi melihat dua koper besar berwarna biru
muda di belakang kursinya. Perempuan ini pasti mau pergi dalam waktu lama.
“Nggak.
Tapi kalau kamu menebak saya diam-diam berharap dia datang ke sini dan mencegah
saya pergi, kamu benar.”
Aku
hanya bisa menatapnya iba, dan diam-diam mencoba membayangkan betapa hancurnya
hati perempuan ini terpaksa meninggalkan orang yang dia sayangi. Tunggu. Mencoba?
Benarkah aku mencoba?
“Hanya
dengan cara seperti ini, saya bisa membuatnya berhenti memperjuangkan saya di
hadapan keluarga besarnya.”
Sejenak
perempuan berambut pendek ini melihat arloji pink yang melingkar di pergelangan
tangannya, memastikan waktu. Lalu dipindahnya ponsel dan dompetnya dari atas
meja ke dalam ransel kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya.
“Okay,
time’s up. Saya harus pergi. Eh, terima kasih ya, sudah mendengarkan saya
bercerita, padahal kita nggak saling kenal.”
“It’s
okay, Mba. Semoga dengan cerita sama saya, beban di hati Mba bisa sedikit
berkurang.”
Kami
berdua berdiri, saling bersalaman. Entah kenapa tak satu pun dari kami yang
berniat menanyakan nama. Bergegas dia melewati meja kami menuju pintu keluar
kedai.
Aku
yakin masih banyak cerita perpisahan yang terpendam dalam setiap langkah-langkah
yang menjejak lantai bandara ini. Perpisahan tidak pernah indah, bagaimanapun
bentuknya. Di sela-sela kebanggaan menerima beasiswa ke luar negeri, ada anak
yang diam-diam sedih meninggalkan orang tuanya di tanah air. Di balik bergengsinya
amanah tugas ke kota besar, ada seorang ibu yang tidak rela harus berpisah
dengan bayi mungilnya barang sehari pun.
Tidak
ada orang yang suka dengan perpisahan. Tidak ada.
Aku
memandang jendela, hujan masih juga turun dengan derasnya. Bayangan Vero
menari-nari dalam kepalaku. Apa yang akan dilakukan lelaki itu jika tahu aku
benar-benar pergi? Bohong jika tadi kukatakan bahwa aku tidak pernah dengan
sengaja pergi meninggalkan orang yang aku sayangi. Itulah yang sedang kulakukan
sekarang. Dan kalau saja aku tidak bertemu perempuan tadi, mungkin sudah
kusobek tiket dalam genggamanku ini, mencoba mengulang semua dari awal lagi. Tapi
kini tekadku sudah bulat, demi teringat kata-kata perempuan itu sebelum kami benar-benar
berpisah tadi…
“Adalah
menyakitkan ketika saya dan dia duduk bersisian, namun sebenarnya ada jarak
bernama perbedaan yang membentang demikian luas. Dengan kepergian saya, jarak
tak kasat mata itu akan mewujud dalam angka, nyata senyata nyatanya. Keadaan itulah
yang pada akhirnya akan membuat kami lebih mudah memaafkan diri kami sendiri
karena menemukan alasan yang tepat untuk saling berhenti berharap dan
mengandaikan masa depan yang sejak awal sebenarnya tidak pernah ada untuk kami.”
God,
bagaimana bisa perempuan tadi seakan membuatku bercermin?
0 komentar:
Posting Komentar