pict taken from www.maketheworldcyou.com |
“Selamat
sore, selamat datang, mau pesan apa?”
“Hmm,
lychee tea dingin for today. Thanks,” begitu saja lalu perempuan itu langsung
melangkah meninggalkan kasir menuju tempat duduk favoritnya di sebelah jendela
besar.
Mall ini bukanlah mall elite, tapi lokasinya yang strategis sungguh
menjadi godaan tersendiri untuk dikunjungi. Apalagi, di tempat ini, di kedai
kopi ini, perempuan itu seperti menemukan dunianya. Dia tak pernah suka tempat
yang terlalu ramai, dan tempat ini memberikan suasana yang sesempurna
keinginannya.
“Lihat
deh, apa gua bilang, dia selalu duduk di situ.” seorang pelayan lelaki memulai
percakapan dengan temannya.
“Siapa
maksud lu?”
“Tuh,
cewek yang tadi pesen lychee tea dingin,” katanya sambil mengangkat sedikit
dagunya ke arah tempat duduk di sebelah jendela besar.
“Bukannya
hampir tiap Jumat malam dia ke sini ya?”
“Yoi,
dan selalu sendirian, hahaha”
“Ngapain
lu ketawa? Lu pengen nemenin? Sana aja coba kalau berani.”
“Ngaco,
lu.”
“Lah
kok ngaco? Walaupun terkesan dingin, tuh cewek manis juga, lho. Lu pernah
perhatiin dua lesung pipinya waktu senyum dan bilang ‘thanks’, nggak? Manis
bener, cuy!”
“Dasar
mata keranjang, lu!”
“Apanya
yang mata keranjang? Gua Cuma ngomong fakta. Ah udahlah, gua mau beresin meja
yang di sebelah sana dulu.”
Percakapan
dua pelayan akhirnya terhenti. Tak ada yang salah dari apa yang mereka
bicarakan sedari tadi. Mulai soal frekuensi kunjungan, tempat duduk favorit, sampai
dua lesung pipi yang tampak ketika perempuan itu tersenyum.
Sebenarnya
tidak banyak yang bisa dilihat dari balik jendela besar yang ada di salah satu
sudut kedai ini, hanya ada persimpangan Senen yang dipenuhi kendaraan bermotor
dan pemandangan fly over yang sepertinya tidak bisa banyak membantu mengurai
kemacetan arus kendaraan yang menuju ke arah Matraman. Tapi ada satu hal yang
disukai perempuan berlesung pipi itu:
warna-warni
lampu mobil dan motor yang ada di jalanan.
Kerlip-kerlip
itu mengingatkannya pada masa kecil yang indah di kampung halaman, tempat
kakeknya dulu rajin mengajaknya berburu kunang-kunang. Tapi semuanya hanya
tinggal kenangan. Kakeknya telah lama tiada, pun kampungnya, sudah berganti
wajah menjadi kota besar.
Perempuan
itu baru saja hampir berhasil menyendok sepotong lychee dari dalam gelas,
ketika mendadak seorang lelaki duduk di hadapannya.
“Sorry,
saya boleh duduk di sini?”
Dengan
lesung pipi yang masih tersembunyi, perempuan berambut sebahu itu mengedarkan
pandangannya ke sekitar, sebelum akhirnya menjawab, “Sepertinya masih banyak
kursi yang kosong, kan?”
“Iya,
saya tahu. Mmm. Saya hanya mau ngobrol sebentar, boleh?”
Perempuan
itu menyandarkan tubuhnya ke sofa.
“Tergantung,
mas.”
“Tergantung?”
tanya lelaki itu tak paham.
“Iya,
tergantung. Tergantung apakah kita akan sering bertemu lagi atau nggak.”
“Oh,
itu. Saya sudah lama mengamati kamu yang sering berkunjung ke tempat ini, duduk
di kursi yang sama, di hari Jumat malam. Bisa dibilang frekuensi kunjungan kita
sama. Saya hanya tiga bulan di Jakarta. Lusa tugas saya selesai di sini,
saya akan kembali ke Bontang sesegera mungkin. Jadi hampir bisa dijamin kalau
kita nggak akan bertemu lagi.”
“Okay,
good then. First, yang ingin saya tanyakan adalah, kenapa kamu ingin ngajak
saya ngobrol?” perempuan itu merapikan anak rambutnya ke belakang telinga,
seperti bersiap untuk mulai mendengarkan.
“Pertama,
saya penasaran kenapa kamu selalu terlihat sendirian. Saya, hampir-hampir nggak
pernah pergi sendirian. Saya selalu butuh teman bicara, teman ngobrol. Biasanya
saya ke sini sama teman-teman, dan hari ini terpaksa saya harus pergi sendirian.
Itu juga yang akhirnya membuat saya berani menghampiri kamu, supaya saya punya
teman ngobrol, walau sebentar.”
“Memangnya
apa yang salah dengan menghabiskan waktu seorang diri saja? Saya kasih tahu
nih, mas. Saya kerja di kantor rata-rata 9 sampai 10 jam dalam sehari. Maka
dalam jangka waktu itu juga saya berinteraksi dengan orang lain. Di akhir
weekday, inilah waktu yang saya pilih untuk me time, menghabiskan waktu
sendirian. Main sama temen paling kalau lagi ada yang ngajak ketemuan aja. Saya
prefer istirahat kalau weekend.”
“Hmm,
menarik. Kamu nggak ngerasa risih gitu, tiap ada orang yang pandangannya seolah
bilang ‘ih kok sendirian doang, sih’? Kebanyakan orang akan merasa risih kalau
mendapatkan pandangan itu, saya salah satunya.”
“Ngapain
musingin orang?” perempuan itu tertawa kecil, kedua lesung pipinya terlihat
jelas.
Lelaki
di hadapannya tertawa terbahak, seperti mendengar lelucon yang paling konyol.
Lalu sejenak kemudian pandangannya beralih ke novel bersampul merah tua di
pangkuan perempuan itu.
“Kamu
suka baca?” tanyanya.
Si
perempuan berlesung pipi kemudian mengangkat novel yang baru dibacanya separuh
itu.
“Ya,
saya suka baca. Kamu tahu Tere Liye?”
“Iya
tahu. Tapi saya nggak ngikutin bukunya, sih. Salah satu penulis favorit kamu?”
“Yeaa,
bisa dibilang begitu. Ini novel Matahari, lanjutan seri Bumi dan Bulan, kalau
suatu saat kamu penasaran dan ingin baca. Saya saranin sih, kamu baca mulai
buku pertamanya. Ceritanya nyambung.”
“Oooh,
nice. Ah iya, kamu sudah lama kah di Jakarta?”
“Kalau
satu tahun lima bulan itu dibilang lama, berarti iya, saya sudah lama di
Jakarta.”
“Kamu
betah?”
“Betah
aja.”
“Saya
tiga bulan di Jakarta, rasanya sudah pengen balik ke Bontang aja sejak minggu
pertama.”
“Why?”
“Jakarta
macetnya ampun-ampunan, beda dengan di Bontang.”
Kali
ini, perempuan itu yang terbahak.
“Ya
iyalah!” tuntas tertawa, perempuan itu memandang ke luar jendela. Kemacetan
masih mengular, dia menghela napas panjang dan melanjutkan kata-katanya.
“Buat
saya, mas, Jakarta adalah tempat dimana hal-hal baik dalam hidup saya bermula.
Pekerjaan yang baik, kondisi finansial yang baik, kehidupan yang lebih baik.
Kemacetan hanyalah nila setitik yang menurut saya seharusnya nggak akan merusak
susu sebelanga, kebaikan-kebaikan lain yang ada di kota ini. Saya selamanya
nggak pernah setuju dengan peribahasa itu, anyway.”
“Begitukah?
Mungkin memang saya harus tinggal lebih lama di Jakarta ya, supaya nggak hanya
dapat macetnya aja?”
“Bisa
jadi, mas.”
“Okay,
sepertinya saya harus duluan. Terima kasih ngobrol-ngobrolnya, walau sebentar.”
“It’s
okay. Saya masih akan di sini, silakan duluan.” jawabnya pendek.
Lelaki
berbaju biru tua itu sudah berjalan beberapa langkah sampai akhirnya memutuskan
untuk kembali menuju tempat duduk di samping jendela besar.
“Sorry,
boleh saya tahu nama kamu? Saya Rendi,” ucapnya sambil mengulurkan jabat.
Perempuan
berlesung pipi itu sejenak ragu.
“Just
call me Faya.”
Wow kebetulan yang unik,, aku punya kelompok kecil bernama 'faya' gabungan dari nama 4 anggota kelompok. Btw nice story. Aku suka dengan sudut pandang Faya pada Ibukota, karena sejujurnya itu juga yang aku rasakan pada Kota Jakarta.
BalasHapus