pict taken from yogyakarta.panduanwisata.id |
Seperti
biasa aku selalu harus mengaduk-aduk isi tasku dulu untuk bisa menemukan
name-tag yang terselip di antara notes, payung, dompet, dan penghuni tasku yang
lain. Tote bag, model tas paling favorit, sekaligus paling menyusahkan karena
hanya ada satu kantong untuk semua barang. Favorit tapi menyusahkan? Yeaa,
karena kerumitan macam itulah yang membuatku disebut perempuan.
“Makanya
name-tag tuh dipakai, jangan dimasukin dalam tas!”
Haikal
tiba-tiba sudah ada di sebelahku, melepas sejenak name-tag yang diselipkan di
sakunya, dan taraaaaaaa… pintu terbuka.
“Nggak
mau ah, ntar penumpang-penumpang angkot jadi tahu namaku semua dong. Kalau aku
digodain ntar gimana?” sahutku cuek.
“GR
amat, lu.”
Tepat
sebelum Haikal masuk ruangannya (yang notabene bersebelahan dengan ruanganku),
kutarik sedikit jaket hitamnya.
“Kal,
Kal, tunggu bentar,” pintaku.
“Apaan?”
“Kal
kapan liburan lagi, Kal? Masa terakhir kali liburan bareng temen-temen di sini
kan hampir setahun yang lalu. Mumpung lagi musim panas, nih.”
“Musim
panaaaas, kayak di Eropa aja ada musim panas segala. Hahahaha. Hmm, liburan ya?
Boleh juga ide lu. Lu mau kemana? Ke gunung? Ke kota? Ke goa? Atau ke pantai?”
“Pantai!”
“Yaudah,
nanti gua cari destinasi yang pas. Mau ambil cuti sekalian?”
“Ih
jangan, sayang cutinya. Weekend aja.”
“Okelah.”
***
Dermaga
Pulau Pari menyambut kami berdelapan yang hampir tiga jam mengarungi lautan.
Pulau ini adalah salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu, salah satu destinasi
yang tepat untuk sejenak menghilangkan penat di ibu kota. Kalau kantong cekak,
bisa naik kapal dari dermaga Kaliadem. Tapi kalau ada uang lebih, naik kapal
via Ancol tentu lebih nyaman dibandingkan berdesak-desakan dalam kapal yang
bersandar di Muara Angke ini.
Setelah
turun dari kapal, bisa ditebak, aku mengamati mereka bertujuh yang sedang asyik
wefie dengan action-cam milik Haikal.
Haikal melambaikan tangannya, isyarat untuk mengajakku berada dalam satu frame
dengan mereka. Tiga jepretan, lalu kami berjalan lagi mengikuti Bang Salim,
tour guide kami selama di Pulau Pari ini.
“Lu
kenapa sih, nggak biasanya lu pendiem gini?”
“Nggakpapa
kok, I’m okay.”
“Yailah
pakai ngeles segala. Kenapa? Gara-gara ini open trip? Kamu jadi berasa
jalan-jalan sama orang asing, gitu?”
“Ah,
you know me so well, lah, Kal. Aku kan emang ngerasa lebih nyaman kalau liburan
sama orang yang aku kenal.”
“Lu
kenal gua. Lagian kan lu tau sendiri, pas gua lempar ajakan di grup kantor,
weekend ini banyak yang pada pulang kampung. Sementara lu buru-buru pengen
ngetrip. Jalan tengahnya ya ini. Nikmatin aja, nggak selamanya stranger itu
annoying. Okay?”
Aku
menarik napas panjang, “Okay, boss.”
Agenda
pertama dan utama di siang hingga sore hari nanti adalah snorkeling. Berita
buruknya aku nggak bisa berenang, tapi berita baiknya adalah nggak perlu bisa
berenang untuk ikutan snorkeling. Yeay!
Perahu
kami bergerak dari spot snorkeling satu ke spot berikutnya. Masing-masing spot
punya kelebihan tersendiri. Di spot pertama, nggak terlalu banyak ikan di sana,
tapi terumbu karangnya memang jempolan, warna-warni, bentuknya pun macam-macam.
Lain lagi dengan spot ke dua, di sini bisa dijumpai banyak jenis ikan
kecil-kecil. Kalau saja nggak ada larangan, rasanya mau aku masukin plastik
saja deh, ikan-ikannya.
Hobi
sepertinya memang bisa jadi bahan pembicaraan yang paling asyik. Kami
berdelapan yang baru bertemu hari ini, bisa langsung akrab hanya karena sharing
tentang tempat-tempat wisata yang pernah kami kunjungi. Aku nggak begitu banyak
bicara, tapi juga sudah nggak sependiam sebelumnya. Haikal benar, nikmati saja.
Sore
itu kami menikmati sunset di Pantai Lipi. Pantai yang luas, dengan rerimbunan
tanaman bakau di beberapa sisinya. Bakau punya peran yang besar untuk menjaga
kelestarian pesisir. Bukan hanya meredam gelombang, lebih dari itu, bakau pun
jadi habitat yang nyaman untuk ikan-ikan kecil di sana. Dan tentu saja, jadi
spot foto yang unik untuk turis-turis macam kami ini.
***
Jam
lima kurang lima belas, tiga perempuan di sebelahku nggak berhasil kubangunkan.
Ada agenda mengejar sunrise pagi ini di Pantai Pasir Perawan, dan jujur saja
aku sama sekali nggak ingin melewatkannya. Seandainya harus ke sana sendirian
pun, aku nggak masalah. Toh hanya perlu bersepeda selama selama 5 menitan untuk
sampai ke sana.
Akhirnya
kuputuskan untuk berangkat sendirian saja. Setelah merapatkan jaket, aku
membuka pintu rumah, dan tiba-tiba..
“Mau
kemana?”
“Astaghfirullah!”
“Eh,
maaf, kaget ya?”
“Astaga,
kamu udah bangun toh, ternyata? Kirain masih molor kayak yang lain. Udah sholat
subuh?” tanyaku sambil menghela napas panjang demi meredakan debar jantungku
yang nyaris lepas karena tak menyangka ada Vero di teras rumah.
“Udah
tadi di masjid.” jawabnya.
“Oooh,
bagus deh.” Aku segera menghampiri sepedaku dan bersiap berangkat.
“Eh
pertanyaanku belum kamu jawab. Kamu mau kemana?”
“Mau
ngejar sunrise ke Pantai Pasir Perawan.” jawabku cuek.
“Ikut.”
Jadilah
pagi itu, kami berdua mengayuh sepeda demi bisa menikmati sunrise. Sebenarnya
aku nggak berharap Vero ikut, akan lebih menyenangkan kalau aku menyaksikan
matahari terbit sendirian saja. Pasti lebih syahdu rasanya.
Benar
saja, lima menit kemudian kami sampai. Pantai masih sepi, kami segera duduk
senyaman mungkin beralaskan pasir pantai. Sunyi, langit masih gelap. Hanya ada
kami, bintang-bintang di langit, dan suara riak ombak dari kejauhan.
“Kamu
sering ke pantai?“
Pertanyaan
Vero memecah kesunyian diantara kami.
“Nggak
juga. At least setahun sekali lah, aku ke pantai. Aku nggak kayak kamu yang
traveler sejati, hampir tiap weekend ngebolang kemana-mana.”
“Eh?
Ternyata kamu nyimak juga ya ceritaku pas di perahu tadi siang? Aku kira kamu
nggak dengerin.”
“Dari
jarak sedekat itu, gimana bisa aku nggak nyimak cerita kalian masing-masing.”
“Apa
yang kamu suka dari pantai?” tanyanya.
God,
haruskah aku bercerita panjang lebar pada stranger satu ini?
“Banyak.
Aku suka warna senja yang memantul di air laut. Aku suka dengerin suara ombak.
Aku suka bikin jejak-jejak di pasir pantai.”
“Hmm..”
“Satu
lagi. Aku suka cara pesisir yakin bahwa ombak, setelah mengambil beberapa butir
pasirnya ke lautan, akan menggantinya dengan sesuatu yang berbeda. Mungkin
dengan pasir yang baru, mungkin juga dengan cangkang kerang yang mengkilap.
Pesisir nggak pernah tahu, tapi dia punya keyakinan dan kesabaran untuk itu.”
Dari
sudut mata, aku bisa merasakan bahwa Vero sedang menatapku lekat. Aku menoleh
padanya, dan aku benar. Seketika Vero kembali memandang lautan.
“Filosofi
yang menarik. Aku aja nggak pernah kepikiran, tuh.”
“Jangan
berlebihan.”
“Anyway,
kamu sekantor ya, sama Haikal?”
“Iya.
Kamu kayaknya udah akrab banget sama dia ya?”
“Gimana
nggak akrab, aku temennya sejak kecil. Nasib juga yang membawa kami sama-sama
merantau ke Jakarta. Yaah, ketemunya dia lagi, dia lagi.”
“Jodoh
kali, kalian berdua.” Aku tertawa. Vero juga.
“Najis.”
Tak
lama, matahari mulai menampakkan dirinya perlahan. Lingkaran berwarna keemasan
itu demikian indah dan membius. Aku dan Vero berhenti berbicara. Kami hanya
bisa takjub menyaksikan pemandangan yang langka ini. Pemandangan yang nggak
akan bisa dijumpai di Jakarta, mengingat gedung-gedung pencakar langitnya sudah
memenuhi pandangan ke angkasa. Jangankan sunrise, bintang saja sudah jarang
bisa terlihat.
“Mmmm..
So, kapan ya bisa liburan bareng lagi kayak gini?” tanya Vero sambil memusatkan
pandangannya padaku.
Aku
berdiri, membersihkan bagian belakang celanaku dari pasir pantai yang mungkin
masih menempel.
“Pantai
ini. Liburan ini. Buatku nggak lebih dari sekedar tempat singgah dari
rutinitas.”
Tatapan
heran Vero mengikutiku.
Aku
tersenyum, kemudian melangkah pergi menuju pohon tempat sepedaku kusandarkan.
I'm rooting for Haikal #eh
BalasHapussayangnya Haikal hanya figuran di sini, huahahaha.. Tapi bolehlah nanti kalau timing nya pas, dibikin cerita lebih lanjut tentang Haikal.. Aku suka nama tokohnya, btw, haha :p
HapusHaikal kah?? nice name, tapi bikin aku keinget sama orang yang super duper nyebelin,,untungnya Haikal di sini gak nyebelin malah bikin ketawa :D
BalasHapus