pict taken from autotekno.sindonews.com |
Hujan
tidak pernah gagal membuat kenangan terputar kembali di ingatan. Ada memori di setiap
rintiknya. Lalu ketika tetesan air itu menyentuh tanah, aromanya akan terhirup
kuat-kuat, sampai kedua mata ini terpejam karena syahdunya. Jakarta diguyur
hujan sore ini. Aku bukan termasuk yang cinta-cinta banget sama hujan, tapi
akupun nggak pernah mengutuknya. Tengah-tengah saja, bukankah yang berlebihan
itu selalu tak baik adanya?
Halte
Tosari bisa dipastikan akan penuh sesak jika sudah hujan begini. Aku sebagai
salah satu pengguna setia bus Transjakarta sudah paham benar hal itu. Pasalnya,
ketika hujan turun, halte ini tak hanya menampung orang yang menunggu bus
datang, tapi juga disesaki mereka-mereka yang menanti hujan sedikit reda agar
bisa melanjutkan perjalanan. Karena itulah, aku lebih memilih untuk keluar
halte menuju jembatan penyeberangan.
Ada dua hal yang aku syukuri kali ini. Fakta pertama bahwa hujan kali ini nggak disertai angin kencang. Fakta ke dua adalah jembatan penyeberangan ini punya kanopi yang agak panjang di tepi-tepinya. Dua hal ini yang membuatku terlindung dari kuyup. Aku tak pernah bisa kehujanan.
Aku
merapatkan jaket merah mudaku dan memandang ke bawah. Macet. Barisan kendaraan
mengular, membentuk garis-garis nyala merah yang tersebar di seluruh bagian
jalan. Biasanya, di hari hujan seperti ini, Ibu membuatkanku minuman hangat. Entah
itu teh manis, susu, atau cokelat hangat. Kemudian kami akan berbincang di
taman belakang, sembari menikmati hawa dingin yang ditawarkan hujan. Ah, hujan
selalu sedamai itu jika aku berada di dekat Ibu.
“Perlu
tisu?”
Tiba-tiba
seorang lelaki menyorongkan selembar tisu padaku. Astaga, memangnya aku
menangis?
“Ah,
nggak, makasih,” sahutku sambil terus memperhatikan jalanan, hujan belum
berhenti.
“Eh
kenapa? Tisunya bersih kok, ya walau ini tisu dari bungkusan burger gua, sih.”
Aku
masih diam saja. Baru satu minggu di Jakarta, aku tak punya pilihan lagi selain
harus selalu waspada.
“Lu
baru ya, di Jakarta?”
“Nggak
kok, mas,” tukasku pendek.
“Oh
dari Jawa ternyata.”
Sial
ketahuan. Aku harus mengingatkan diriku sendiri berkali-kali kalau jangan panggil
“mas”, di Jakarta panggilnya “bang”. Dan nyatanya masih salah juga.
“Gua
memang belum terlalu lama di Jakarta. Tapi, tingkah lu yang terlihat amazed
banget ngelihatin kemacetan, plus sikap defensif lu barusan, sudah cukup jadi
indikasi kalau lu emang baru menjejak di Jakarta.”
“Hhh,
yayaya. Kalau aku baru, terus kenapa?”
Orang
ini sotoy juga, maunya apa pula.
“Ya
nggakpapa, hehe.”
Aku
menoleh sebentar. Lelaki ini memang nggak tampak seperti orang jahat, sih. Lihat
saja mulutnya yang belepotan saus burger itu. Hah, sudah jelas dia yang lebih
butuh tisu daripada aku.
“Pasti
lu masih berat ninggalin kota kelahiran lu, ya?”
Aku
menghela napas panjang. Kalau saja sedang tidak hujan, aku mau cepat-cepat
pergi dari sebelah lelaki ini. Demi apa, dari beberapa orang yang juga ada di
jembatan penyeberangan ini, kenapa dia harus berdiri di sebelahku, sih?
“Yaa,
bisa dibilang gitu.”
“Wajar
kok itu. Dulu gua juga gitu. Homesick, kalau orang-orang bilang. Tapi, lelaki
bukanlah lelaki kalau belum merantau,” jelasnya jumawa.
Aku
memandangnya lagi. Lelaki ini bisa saja agak sedikit lebih tampan, kalau saja gaya
bicaranya nggak sok tau macam begitu.
“Eh,
sorry ya, burgernya gua habisin sendirian,” katanya sambil melipat bungkusan
burger ke dalam saku jaket hitamnya. Okay, satu nilai plus, dia nggak buang
sampah sembarangan.
“It’s
okay, lagian aku juga nggak doyan burger.”
“Doyannya
apa dong?”
“Nasi
pecel.”
Demi
mendengar jawabanku, dia terbahak, sampai orang-orang memandang ke arah kami.
“Apanya
yang lucu, sih?” tanyaku sebal. Mencuri perhatian seisi jembatan penyeberangan
ini jelaslah nggak masuk dalam rencanaku. Aku malah ingin terlihat transparan
saja, berada di sini tanpa dihiraukan siapapun. Bukankah kesendirian itu seringkali
mendamaikan berisiknya pertanyaan di dalam hati?
“Yaelah
gitu aja marah. Lu di Jakarta ngapain, sih? Kerja?”
“Iya.”
“Oooh,
di mana?”
Duh,
kepo.
“Oke
oke nggak usah dijawab juga nggakpapa kok.”
Akhirnya
sadar diri juga nih orang.
“Gua
ganti pertanyaan aja.”
What?
-___-
“Kalau
berat ninggalin kampung halaman, ngapain lu ke Jakarta?”
“Bukan
aku yang milih untuk penempatan di Jakarta.”
“Oooh,
accidentally merantau. Pantesan.”
“Pantesan
apa?”
“Pantesan
galau.”
Aku
melengos. Hujan berhenti dong, selamatkan aku dari lelaki jangkung yang sok
akrab ini.
“Gua
dulu juga mengalami fase-fase itu, kok. Gua mengalami kangen rumah, pengen
rasanya tiap weekend pulang. Tapi akhirnya gua realistis, uang gua nggak sebanyak
itu untuk bisa beli tiket pesawat tiap minggu, hahaha.”
Kali
ini aku ikut tertawa, tapi nggak begitu keras. Orang asing ini ternyata lucu juga.
“Terus
kamu ngapain biar nggak galau kepikiran rumah melulu?”
“Gua
cari kesibukan.”
“Diplomatis
banget jawabanmu.”
“Dengar
dulu. Gua cari kesibukan yang menyenangkan. Misal, ikutan open trip ke pantai-pantai
di Kepulauan Seribu, ikutan event lari, pergi ke pameran seni, apa aja lah,
asal gua nggak punya waktu nganggur.”
“Does
it work?”
“Iyalah.
Pikiran-pikiran negatif itu harus dialihkan, harus ditipu dengan hal-hal yang
positif. Merantau itu punya banyak manfaat. Gua nggak akan bilang manfaatnya ke
lu, lu yang harus ngerasain sendiri, cari tahu sendiri. Sama kayak obat. Obat itu
pahit, lu nggak bakal suka. Tapi, lu sendiri yang bisa ngerasain khasiatnya,
ngerasain manfaatnya. Lu nggak bakal percaya kalau cuma denger dari orang lain.”
Hujan
masih turun, tapi rintik-rintiknya telah jauh lebih kecil dan jarang
dibandingkan satu jam yang lalu. Satu jam? Great, satu jam di sore hari ini aku
habiskan bersama lelaki asing di jembatan penyeberangan. Kalau di FTV, mungkin
cerita ini akan berakhir dengan tuker-tukeran nomor handphone.
“Okey,
then, hujannya sudah reda. Aku duluan.”
“Eh,
tunggu. Gua Haikal, lu siapa?”
“Aku
nggak biasa kenalan sama orang asing, maaf ya.”
“Hmm,
okelah. Berarti kalau ketemu lagi, lu yang wajib nyapa gua, karena gua nggak
tau gimana caranya nyapa lu duluan,” katanya sambil memasang earphone di kedua
telinganya.
Kami
lalu saling tersenyum, kemudian berjalan menuju arah yang berlawanan.
Meninggalkan
genangan-genangan air kecil di jembatan yang merekam sebuah pertemuan.
Baca ini di KRL menuju stasiun Jakarta kota, pas pertama baca udah muncul nih senyum, bahasanya aku suka aul, cara aul menulis ttg hujan :).. Makin scroll kbawah jdi tersenyum mkin lebar. Seriusan tuh mas2 bikin org yg galau sukses tersenyum lebar... Bacaan yg mnyenangkn untuk memulai hari d penuh sesaknya krl bogor-jakarta kota... 😘😘😘😘
BalasHapusBaca ini di KRL menuju stasiun Jakarta kota, pas pertama baca udah muncul nih senyum, bahasanya aku suka aul, cara aul menulis ttg hujan :).. Makin scroll kbawah jdi tersenyum mkin lebar. Seriusan tuh mas2 bikin org yg galau sukses tersenyum lebar... Bacaan yg mnyenangkn untuk memulai hari d penuh sesaknya krl bogor-jakarta kota... 😘😘😘😘
BalasHapusJujur, chibs...dari pertama kali kenal...baru kali ini aku mampir di blogmu...always have many great things to share...simple, tapi gaya penyampaiannya yg lugas, jujur, dan apaadanya bikin yg baca ikut larut didalamnya...sukak banget...keep inspiring bi...kangen kalian adek2ku yg unyu n awesome...*colek bu bidan hihi
BalasHapus"bukankah yang berlebihan itu selalu tak baik adanya?" suka banget sama kalimat ini.
BalasHapus