pict taken from asfanforever.wordpress.com |
Sebagai
stasiun besar di Ibu Kota, Gambir tidak pernah sepi dari hari ke hari. Barisan
orang lalu lalang dari loket satu menuju loket lainnya. Suara mesin pemanggil
antrian otomatis menggema di ruang tunggu pintu utara. Stasiun bukan hanya
tempat orang-orang yang bergembira karena pulang, tapi juga tempat dimana
wajah-wajah yang digelayuti rindu mencoba tetap tegar. Sesekali pun bisa
dijumpai rona yang penuh semangat karena pertama kali menjejak tanah rantauan.
Di
salah satu bangku melingkar, seorang lelaki duduk dengan satu koper hitam berukuran
tanggung di depannya. Tangannya menggenggam bungkusan kertas berisi roti rasa
kopi. Sesekali matanya diarahkan ke luar, memandang jam tangannya sebentar,
lalu kembali sibuk mengisi rongga mulutnya. Di tengah kesibukannya mengunyah,
ada sorot gelisah yang tampak di kedua matanya. Seperti menunggu sesuatu yang
tak kunjung datang.
“Rendi!”
Belum
sempat lelaki itu menelan rotinya, orang yang sedari tadi ditunggunya itu sudah
menepuk-nepuk pundaknya lumayan keras.
“Astagaa,
biarlah saya telan dulu rotinya, bro. Jangan main peluk saja kamu ini. Lagian
kita kan sama-sama laki-laki, nggak enak juga dilihat orang.”
“Soriii,
bro! Ndak kira lah saya masih sempat ketemu kamu.”
“Bukan
main. Sudah berapa lama kamu di Jakarta?”
“Hmmm,
kira-kira hampir empat tahun saya di sini, Ren, kenapa memang?”
“Nggakpapa,
saya kira kamu bakal nyapa saya pakai lu-gua, hahaha”
Lelaki
bernama Rendi itu pun menggeser tempat duduknya, memberi tempat untuk orang
yang sudah dinantikannya sejak tadi.
“Saya
boleh lama di rantauan, tapi logat sepertinya lebih kuat melekat, Ren. Sama lah
seperti kamu. Ah iya, maaf ya tiga bulan ini saya sibuk sekali, ndak bisa
temani kamu keliling-keliling Jakarta.”
“Nggakpapa,
saya paham lah kesibukannya anak buah Bu Menteri.”
“Ah,
jangan gitu lah. Saya kan cuma remah-remah roti, Ren, kayak yang kamu makan
itu. ”
Lalu
keduanya tergelak.
“Ah
iya, apa kabar si Rania?”
“Kami
dah lama putus, Ren. Sudahlah nggak usah dibahas. Kamu sendiri gimana? Masih
sama yang dulu?”
“Sama
lah nasib kita, bro. Ah iya, saya jadi ingat, kapan hari saya ketemu salah satu spesies
perempuan yang unik banget.”
“Unik
gimana, Ren?”
“Sejak
pertama saya lihat dia di tempat ngopi itu, saya langsung ngerasa ada yang beda
sama dia. Pertama, dia selalu sendirian. Ke dua, dia nggak pernah pesan kopi,
padahal di situ menu default-nya ya kopi.”
“Ke
tiga?” lelaki di sebelah Rendi ini mulai tampak penasaran, kedua alisnya nyaris
saling bertautan.
“Yang
ke tiga, yang baru saya tahu waktu saya nekad ngajak dia ngobrol.”
“Ngajak
ngobrol? Serius, Ren?”
“Saya
serius. Hal ke tiga yang bikin dia beda adalah, dia begitu terbuka sama orang
asing.”
“Jadi
orangnya ramah, gitu?”
Rendi
terlihat berpikir sejenak.
“Nggak
bisa dibilang ramah juga, sih, bro. Dia itu dingin malahan sebenarnya. Tapi dia
bisa bikin saya yang orang asing ini, nyaman ngobrol sama dia.”
“Hmm,
aneh.”
“Kita
selalu bisa ngerasain kan, kalau orang yang kita ajak bicara itu ngerasa nggak
nyaman sama kita? Itu yang nggak saya rasakan ketika ngobrol sama dia.”
“Kok
kayaknya kamu terkesan banget sama dia, Ren? Suka ya?”
“Sudah
cukup lah saya nggak mau LDR lagi, bro. Nanti putus lagi, gagal kawin lagi lah
saya.”
“Jangan
galau gitu, lah, Ren!”
“Eh
saya nggak galau. Coba lah bro, kalau waktumu luang di hari Jumat malam, kamu
pergi ke tempat ngopi di Atrium situ, tuh. Cari perempuan yang duduk di sebelah
jendela besar.”
“Kalau
ada banyak perempuan yang duduk di sebelah jendela besar?”
“Perempuan
ini eye-catching banget, bro. Dia punya dua lesung pipi yang kelihatan jelas
banget kalau dia ketawa. Rambutnya pendek sebahu. Kalau kamu cari tipe perempuan
yang unik. Saya sarankan sekali kamu coba temui perempuan ini, bro.”
Setelah
mengamati jam tangannya beberapa saat, Rendi tampak bersiap-siap. Diikuti teman
bicaranya sejak tadi, mereka menuju area parkiran sebelah kiri. Tepat waktu,
bus Damri berwarna putih baru saja melewati palang pintu masuk.
“Jam
berapa pesawatmu balik Bontang?”
“Masih
jam 9 nanti. Mending nunggu daripada ketinggalan pesawat, kan.”
“Tiga
bulan di Jakarta, kamu sudah belajar banyak dari macetnya kota ini, Ren.”
Rendi
tertawa. Kemacetan Jakarta, sesuatu yang dia benci itu sebentar lagi mungkin
akan jadi sesuatu yang dia rindukan suatu saat nanti.
“Saya
berangkat, bro. Kapan-kapan mainlah ke Bontang.”
“Beres.
Salam buat ibu bapak dan adik-adikmu, ya, Ren.”
“Siap.
Oke, sampai ketemu lagi, bro!”
Sekali
lagi mereka berdua berpelukan. Salam perpisahan dari dua orang teman akrab semasa
kuliah. Rendi yang memilih kembali ke pangkuan kampung halaman, sementara
lelaki yang dipanggilnya “bro” ini masih belum lelah berkelana, menjajaki
tempat-tempat baru yang belum pernah dia jamah sebelumnya.
Sebelum
benar-benar naik ke bus, Rendi menoleh ke arah teman baiknya itu sambil
berkata,
“Perempuan
itu… Namanya Faya.”
***
Gambir
masih penuh dengan hiruk pikuk kesibukannya. Sementara teman baik Rendi juga sedang
sibuk menimbang-nimbang.
Besok
kan, hari Jumat.
0 komentar:
Posting Komentar