pict taken from picture.4ever.eu |
Lapangan Banteng
di hari Sabtu bisa dipastikan tak akan pernah sepi. Mulai anak muda sampai
lansia, dari yang sekedar jalan santai hingga ditemani pelatih lari. Tempat ini
terbagi menjadi tiga area. Area pertama adalah lapangan sepakbola, kemudian di sebelahnya
ada jogging track, dan area ke tiga adalah taman. Mereka yang biasa lari pagi
nggak hanya memfavoritkan jogging track, tapi juga area taman yang punya
pemandangan pepohonan hijau nan menyejukkan mata.
Pagi itu
matahari masih malu-malu bersembunyi. Sementara di ujung jogging track, Haikal
sedang membenahi ikatan sepatunya, memastikannya erat dan terasa nyaman. Beres
dengan sepatu, Haikal menegakkan badannya dan memulai pemanasan ringan. Hanya
perlu waktu sepuluh menit, sampai badannya dirasa siap untuk lari pagi hari
ini.
“Kal!”
“Ah, datang juga,
lu, akhirnya. Sejak kapan lu bangun pagi pas weekend begini, ha?”
“Sejak dulu,
lah, bro! Yuk ah!”
Yang Haikal
tahu, Vero tak pernah absen untuk bangun siang di kala weekend. Yang Vero tahu,
dia harus bangun pagi hari ini, menemui Haikal, dan memenuhi rasa penasarannya
sejak pulang dari liburan ke pantai dua bulan yang lalu.
“Mau liburan ke
mana lagi, lu?”
“Rencananya sih
ke Lombok, Kal, hehe..”
“Kapan?”
“Bulan depan. Gua
udah beli tiket, udah pesen penginapan juga. Tinggal berangkat aja.”
“Ooh.”
Dua sahabat itu
terus berlari mengelilingi lapangan. Bulatnya matahari mulai nampak di samping
gedung kembar Djuanda. Sejuk pagi perlahan menghangat. Vero dan Haikal
membicarakan masa dimana mereka masih sering bertemu, berdiskusi banyak hal,
dan sering pergi ke tempat-tempat eksotis bersama teman satu geng pecinta alam
mereka yang kini sudah tersebar ke seluruh penjuru Indonesia.
“Kal, lu nggak
mau ngadain open trip lagi?”
“Nggak tau.
Belum ada rencana. Kenapa? Lu mau ngajak gua liburan?”
“Bukan ngajak
lu, lah!” sahut Vero cepat.
“Lah terus?”
“Gua pengen
ketemu lagi sama temen lu, tuh.”
“Temen gua? Temen
gua yang mana?”
“Yang waktu itu
ikut liburan.”
“Kanaya maksud
lu?” reflek Haikal membelalakkan kedua matanya dan menatap Vero.
“Biasa aja dong,
respon lu gitu amat. Nggak suka?”
“Bukan gitu, gua
kaget aja. Kenapa lu pengen ketemu sama dia? Lu ngutang sama dia ya? Astaga
kebiasaan lu sejak jaman kuliah nggak berubah juga ya. Kebangetan, lu pikir Kanaya itu ibu kantin? Sini lah lu bayar lewat
gua aja, ntar gua sampein ke Kanaya.”
“Sembarangan,
lu! Gua kasih keringet baru tau rasa lu!” ancam Vero sambil mengacungkan
handuknya yang sudah separuh basah. Lalu keduanya tergelak.
“Jadi, apa yang
bikin lu pengen ketemu sama Kanaya?”
“Nggak tau, Kal,
gua penasaran aja sama dia.”
“Penasaran
kenapa?”
“Haduh, masa gua
mesti cerita panjang lebar dulu, sih?”
“Ya iyalah,
Kanaya kan temen gua. Lagian, siapa tahu ada yang bisa gua bantu. Kali aja rasa
penasaran lu bisa cukup terselesaikan dengan ketemu gua.”
“Dasar, lu!”
Vero seperti
berpikir sejenak, mencoba memutuskan akan memulai ceritanya dari mana.
“Lu inget nggak,
waktu itu kalian pada kesiangan nggak ngejar sunrise?”
“Hmm, iya inget.”
“Waktu itu, gua
sama Kanaya pergi berdua buat ngelihat sunrise di Pantai Pasir Perawan.”
“Masa?! Pas kami
pada bangun, si Kanaya lagi nyiap-nyiapin sarapan, kok.”
“Dia memang
balik duluan, ninggalin gua yang masih nikmatin sunrise, sembari kepikiran
kata-katanya.”
“Kata-kata apa?”
kedua alis Haikal bertautan.
“Yaah, ada
beberapa hal yang kami bicarain waktu itu. Gua tertarik sama filosofinya dia
tentang pantai. Tapi di sisi lain, gua juga terheran-heran sama nggak ramahnya
dia waktu gua tanya kapan bisa liburan bareng lagi.”
Haikal tertawa,
matanya sejenak menatap arak-arakan awan di langit, mencoba mengingat peristiwa
tiga tahun lalu.
“Kenapa lu
ketawa?”
“Kanaya itu
memang nggak ramah sama orang asing. Pertama kali gua ketemu Kanaya tuh di
jembatan penyeberangannya halte Tosari. Waktu itu, kami sama-sama kejebak
hujan. Dia lagi galau gara-gara baru ngerasain yang namanya merantau. Gua ajak
ngobrol, dan defensif banget sikapnya. Bahkan, nyebut nama aja dia nggak mau.”
“Segitunya?”
“Iya, segitunya.
Lumayan tengsin juga waktu itu, gara-garanya gua udah sebut nama dan ngulurin
tangan, eeeh dia malah bilang kalau nggak biasa kenalan sama orang asing. Baru kali
itu rasanya gua ditolak kenalan sama cewek, biasanya kan cewek yang rebutan
pengen kenal gua.”
“Ckckck, pede
amat lu, bro.”
“Hahaha. Yah,
jadi jangan kaget sih, kalau dia jutek sama lu.”
“Tapi gua tetep
pengen ketemu dia lagi, Kal.”
“Ngapa sih? Lu
suka ya sama dia?”
Vero diam,
bingung. Harus dijawab apa lah pertanyaan Haikal ini?
“Gua belum bisa
bilang gitu, sih. Tapi gua tertarik sama dia. Eh tapi dia masih single, kan?”
“Setahu gua sih,
masih.”
Cuaca Sabtu pagi
itu amat bersahabat. Sinar matahari yang menghangatkan, sesekali angin sepoi
pun bertiup, memberi kesejukan untuk meringankan lelah. Jogging track sedang
tak begitu ramai, orang-orang lebih tertarik pergi ke area taman, sedang ada
festival Flona di sana.
“Kal, udahan
yuk, udah belasan kali muter nih, udah lima kilometer kayaknya.”
“Lemah, lu. Yaudah
yuk duduk bentar di tribun.”
Tribun yang ada
di lapangan Banteng ini memang tak begitu besar. Hanya terdiri dari beberapa
tingkat, dan letaknya di sisi kiri gerbang masuk.
Haikal menenggak
habis air dalam botol minumnya, sementara Vero sibuk melemaskan otot-otot
kakinya.
“Jadi gimana,
Kal? Gimana caranya gua bisa ketemu Kanaya lagi?”
“Lu tahu nggak,
kenapa gua lebih pilih lari di sini, daripada area taman yang di sebelah itu?”
“Ya kan lagi ada
acara di situ, Kal.”
“Aduh, bukan itu
alasannya. Jogging track ini jaraknya jelas. Satu kali putaran, 400 meter. Batasannya
juga jelas, tuh lu perhatiin ada bendera-bendera kecil di ujung lapangan, di
paving pembatasnya bahkan ada tulisannya juga tiap 50 meter.”
“Hubungannya
sama Kanaya tuh, apaan?”
“Bro, gua kenal
lu sejak lama. Lu tuh baik sama semua orang, dan kebaikan lu juga sering
disalahartikan. Walaupun lu nggak bermaksud kayak gitu.”
Haikal menghela
napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Kanaya itu
emang jutek sama orang asing. Karena apa? Karena sekalinya dia udah kenal sama
orang, apalagi udah deket sama orang, dia bakalan baik banget, percaya banget,
dan banget-banget yang lainnya. Konsekuensinya, kalau disakitin, dia akan
ngerasa sakit banget juga.”
“Menurut lu, gua
bakal nyakitin dia gitu?”
“Kagak. Gua cuma
mau ngingetin, lu mesti bikin batasan-batasan yang jelas soal
perlakuan-perlakuan lu nanti ke Kanaya, ini nyambung sama jogging track yang
gua bilang tadi. Kalau emang lu memposisikan diri lu sebagai teman, jangan lu
lakuin hal-hal yang ngelewatin batas itu. Ibaratnya kalau temenan tuh
perhatiannya level 2, jangan lu lebay ngasih perhatian sampai level 5.”
“Hmm, ya, paham
gua.”
“Satu lagi.”
“Apa?”
Haikal
menegakkan posisi duduknya lalu tegas berkata, “Kanaya itu rumah. Kalau lu belum
mantap, kalau lu baru pengen singgah sebentar, cukuplah lu berada di terasnya
aja.”
saya suruh anak saya temenan sama Mbak Aul ya.
BalasHapusbiar dia ketularan pinter berimajinasi kayak Mbak Aul.
waduuuh, such an honor for me nih, kalau pak Roni bilang begini :D monggoo Pak, dengan senang hati :D
Hapussuka banget sama closingnya. “Kanaya itu rumah. Kalau lu belum mantap, kalau lu baru pengen singgah sebentar, cukuplah lu berada di terasnya aja.”
BalasHapushihihi, terima kasih fitria.. Ikuti terus ceritanya yaa :D
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDiawali dr judul dan diakhiri dengan kalimat yg keren , ditunggu kelanjutan ceritanya
BalasHapus