pict from: kapanlagi.com |
Baruuu aja tadi sore selesai nonton film ini, setelah kemarin baca review orang yang spoiler banget, hahaha. Sebelum nonton, aku udah berusaha melepaskan bayang-bayang cerita dalam novelnya. Sejak menamatkan novel Ayat-Ayat Cinta 2, aku udah feeling kalau bakalan susah ini untuk difilmkan. Buat yang sudah baca, pasti paham betapa banyaknya tokoh-tokoh yang bersinggungan dengan hidup Fahri, daaan that makes jalan cerita di novel itu luar biasa banyak cabangnya. Dari segi kerumitan cerita, menurutku novel AAC 2 itu lebih kompleks jika dibandingkan dengan novel pertamanya.
Oke, sekali lagi, sebelum mulai baca review, lupakan dulu cerita dalam novelnya, ya! Jangankan jalan cerita, itu di poster yang kasat mata aja udah kelihatan kan bedanya, Hulya nggak berjilbab.
Aih, malah bahas novelnya, haha. Sorry sorryyy, yukdah bahas filmnya..
Fahri masih juga menjadi pusat perhatian dalam film ini. But wait, tentunya dia sudah lulus kuliah, bahkan sudah bergelar Doktor dan menjadi pengajar di universitas ternama. Ditemani Hulusi, preman yang pernah ditolongnya di Turki, Fahri menjalani hidupnya di Edinburgh, tanpa Aisha. Kemanakah Aisha? Aisha hilang tanpa kabar setelah menjadi relawan di Palestina.
Dari segi penokohan, tokoh Fahri yang mengalami kesedihan mendalam berhasil dibawakan dengan baik oleh Fedi. Nggak melankolis, tapi nampak dari sorot matanya yang kadang-kadang kosong. Sama seperti film terdahulu, Fahri masih juga digambarkan sebagai sosok yang sangat baik hati dan suka menolong. Dan karena pribadinya itulah, banyak perempuan yang terpikat. Mungkin yang membuat film AAC 2 ini ingin menonjolkan sisi kesetiaan Fahri pada Aisha, yang kira-kira digambarkan "walaupun digilai banyak perempuan, tapi dia tetap setia menunggu Aisha". Tapi jadinya malah blunder, karena sisi lain Fahri jadi terkesan diabaikan. Misal, sisi smart-nya, sisi yang aku lihat hilang dari tokoh Fahri di film ini.
Sementara dari sisi alur cerita, menurutku di 1/4 awal film tuh kayak kecepetan. Kemunculan alias pengenalan setiap tokohnya terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Tiba-tiba aja gitu muncul si Misbah di depan rumah, Hulya di dalam kelas. Hampir ke pertengahan sampai akhir film, speed alurnya mulai melambat, dan paling lambat di ending, sih. Sayangnya, walaupun melambat di ending, endingnya nggak bombastis-bombastis amat. Jadi ngerasa sayang gitu tadi di awal kenapa cepet-cepet banget.
Overall, menurutku ada beberapa hal yang bikin film ini terasa kurang greget:
1. Momen-momen penting gagal ditonjolkan. Misalnya aja waktu event debat-nya Fahri. Alih-alih menampakkan sisi smart-nya Fahri dengan bikin adegan perdebatan yang seru dan penuh argumentasi mengagumkan, malah nenek Catarina yang jadi bintang utama. Punahlah ekspektasiku melihat Fahri berdiri gagah di podium dan dipandang dengan raut kagum para penonton debat, yang ada malah tangis-tangisan ala sinetron -___-
2. Minim sweet things yang dewasa. I mean, hal-hal sweet di film ini tuh rasanya malah cheesy abis. Fahri yang dikasi kue-kue, Hulya yang nyaris nyelimutin Fahri, dan yaa yang macam-macam itu lah. Jadi bukan tersentuh nih, tapi tepok jidat sendiri saking cheesy-nya.
3. Banyak adegan-adegan yang nggak perlu. Misal nih, adegan Brenda-Hulya (Brenda ngejelasin kalau dia nggak ada apa-apa sama Fahri), adegan pelepasan kepindahan Fahri ke Oxford (pake acara dadah-dadah dan tepuk tangan rame-rame gitu loh, I'm not sure orang-orang bule bakal lebay kayak gitu), daaaan of course adegan di bagian ending (adegan operasi plastik). Ini bagian paling fatal yang seharusnya bisa diganti sama adegan lain yang lebih menyentuh.
Tapi tenang aja, masih ada nilai-nilai positif yang bisa diambil dari film ini, kok. Salah satunya adalah jangan membalas keburukan dengan keburukan pula, tapi balaslah dengan kebaikan. Ini terjadi sama Keira, gadis yang antipati banget sama Islam. Walaupun tingkahnya nyebelin banget , tapi tetap Fahri memperlakukan dia dengan baik. Dari AAC 2 juga bisa dipelajari adab bertetangga yang baik itu seperti apa.
Kalau ditanya nangis atau nggak di sepanjang film, hmmm, iya dikit di tiga adegan saja:
1. Adegan Fahri mergokin Keira yang lagi coret-coret mobilnya.
2. Adegan Nenek Catarina di belakang Sabina yang lagi berdoa.
3. Adegan nikahan Hulya-Fahri (nangis lihat Sabina-nya sih).
Ah iya, ada satu hal yang menarik, yaitu pas semua orang pada sibuk bantuin Fahri persiapan ikut debat. Ada Fahri, Misbah, Hulusi, dan Hulya. Tiba-tiba aku jadi berasa nonton AAC 1, inget nggak yang part Maria bantuin Fahri dan temen-temennya ngerjain tugas kuliah? Nah tuh, persis! Hulya jadi kelihatan kayak Maria. And guess what, setelah dipikir-pikir (dan ditonton), in the end Hulya dan Maria tuh sebenernya ada di posisi yang sama.
Haaaa.. Thats all, review dari aku. Sorry to say, tapi memang biasa aja filmnya, hehe. Jauh dibandingkan AAC 1, apalagi dibanding novelnya. Entah ya, di AAC 1 tuh juga ada perbedaan sama novelnya, tapi perbedaan yang termaafkan, karena "isi" novelnya nggak hilang di dalam film. Tapi perbedaan-perbedaan antara AAC 2 dengan novelnya tuh bikin kesel.
Ada hal lain yang bikin kecewa di film ini?
Ada.
Apa?
Gaya berjilbab-nya Hulya. Kirain ketika Fahri meminta Hulya pakai jilbab, dan Hulya bilang "berjilbab tapi belum sesempurna Aisha", yang terpikir di benak adalah Hulya pakai jilbab tapi belum sampai berniqob, atau jilbabnya belum sebesar yang dikenakan Aisha. Tapi jeng jeng jeeeeeng.... Jilbabnya masih kelihatan leher dan rambutnya dong -____________-
Dah lah segini aja review aku soal AAC 2. Kalau pengen dapat sesuatu yang lebih "berisi", bacalah novelnya.
Wah aku belum nonton AAC 2, ga sabar liat aktingnya Pandji Pragiwaksono. Bagus ga aktingny?
BalasHapusmayan bagus mas, cuman ya itu, karena biasa lihat dia lucu, mau akting serius juga pengen ketawa aja bawaannya, wkwkwk
Hapus